BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pada mulanya riba merupakan suatu
tradisi bangsa Arab pada jual beli maupun pinjaman dimana pembeli atau penjual,
yang meminjam atau yang memeberi pinjaman suatu barang atau jasa dipungut atau
memungut nilai yang jauh lebih dari semula, yakni tambahan (persenan) yang
dirasakan memberatkan.
Namun setelah Islam datang, maka tradisi atau praktek
seperti ini tidak lagi diperbolehkan, dimana oleh Allah SWT menegaskan dengan
mengharamkannya dalam Al-Qur’an (baca; ayat dan hadist yang melarang riba),
bahkan oleh Allah dan RasulNya akan memusuhi dan memeranginya apabila tetap
melanggarnya, yang demikian itu dimaksudkan untuk kemaslahatan dan juga
kebaikan umat manusia.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apakah
pengertian riba dan perbedaannya dengan bunga bank?
2.
Apa
saja jenis atau macam-macam riba?
3.
Bagaimana
Al-Qur’an dan Hadits memandang riba?
4.
Bagaimana
hukum bermuamalah dengan bank konvensional dan hukum mendirikan bank Islam?
C.
Maksud dan Tujuan
1.
Untuk
mengetahui Pengertian riba dan perbedaannya dengan bunga bank
2.
Dapat mengetahui Jenis
atau macam-macam riba
3.
Mampu
memahami Ayat dan Hadist yang melarang riba
4.
Mengetahui
Hukum bermuamalah dengan bank konvensional dan hukum mendirikan bank Islam
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Riba
Asal makna riba menurut bahasa Arab
(raba-yarbu) atau dalam bahasa Inggrisnya usury/interest ialah
lebih atau bertambah (ziyadah/addition) pada suatu zat, seperti tambahan
pembayaran atas uang pokok pinjaman[1].
Misalnya si A memberi pinjaman kepada si B, dengan Syarat si B harus
mengembalikan uang pokok pinjaman beserta sekian persen tambahannya. Riba dapat
diartikan juga dengan segala jual beli yang haram.Adapun yang dimaksud disini
menurut istilah syara’ adalah akad yang terjadi dengan
penukaran tertentu, tidak diketahui sama atau tidaknya menurut syara’,
atau terlambat menerimanya.
B.
Beberapa Macam Riba
Secara umum riba terbagi menjadi dua
bagian, yakni riba nasi’ah dan riba al-fadhl2.
1.
Riba Nasi’ah
Riba nasi’ah (riba
yang jelas, diharamkan karena keadaanya sendiri) diambil dari kata an-nasu’,
yang berarti menunda, jadi riba ini terjadi karena adanya penundaan pembayaran
hutang.Penjelasannya sebagai berikut.
Tambahan yang disyaratkan, yang
diambil oleh orang yang memberi hutang dari orang yang berhutang. . Misalnya,
si A meminjam satu juta rupiah kepada si B dengan janji waktu setahun
pengembalian hutangnya. Setelah jatuh temponya, si A belum bisa mengembalikan
hutangnya kepada si B, maka si A menyanggupi untuk memberi tambahan dalam
pembayaran hutangnya.jika si B mau menambah/menunda jangka waktunya. atau si B
menawarkan kepada si A, “apakah engkau akan membayarnya atau menundanya kembali
dengan menanggung bunga?” Jika si B membayarnya, maka ia tidak dikenakan
tambahan. Sedangkan jika tidak dapat membayarnya, maka ia menambahkan tangguh
pembayaran dengan syarat bahwa ia nantinya harus membayarnya dengan tambahan.
Sehingga, akhirnya harta yang menjadi tanggungan hutang orang tersebut pun
menjadi terlipat ganda. Hal ini merupakan praktek/kebiasaan Jahiliyah, Oleh
karena itu, Allah mengharamkan hal itu, dengan firmannya:
“Dan jika (orang yang berutang itu)
dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan.” (al-Baqarah:
280)
Maka dari itu jika waktu hutang
tersebut sudah jatuh tempo, semantara orang yang berhutang itu kesulitan
membayarnya, maka ia tidak boleh membalikan hutang tersebut kepadanya, tapi
harus siberikan tempo lagi. Sedangkan jika orang yang berhutang itu berpunya,
dan tidak sedang kesulitan, maka ia harus membayar hutangnya, dan tidak perlu
menambah nilai tanggungan hutangnya itu, baik orang yang berhutang itu sedang
mempunyai uang atau sedang sulit.
2. Riba Fadhl
Riba fadhl (riba yang
samara, diharamkan karena sebab lain) berasal dari kata al-fadhl,
yang berarti tambahan dalam salah satu barang yang dipertukarkan. Riba ini
terjadi karena adanya tambahan pada jual beli benda/barang yang sejenis.
Jadi syariat telah menetapkan keharamannya
dalam enam hal, yakni diantaranya adalah emas, perak, gandum, kurma, garam. Dan
jika salah satu barang-barang ini diperjual belikan dengan jenis yang sama,
maka hal itu diharamkan jika disertai dengan adanya tambahan antara keduanya.
Hal ini senada dengan apa yang dikatakan oleh Sayid Sabiq bahwa riba fadhl ialah
jual beli emas/perak atau jual beli bahan makanan dengan bahan makanan (yang
sejenis) dengan ada tambahan.
Hal ini berdasarkan dari hadist Nabi
yang disampaikan Abu Said al-Khudri (yang juga hampir senada dengan hadist yang
disampaikan oleh ‘Ubadah bin al-Shamit )[2] :
“Emas dengan emas, perak dengan
perak, gandum dengan gandunm, kurma dengan kurma dan garam dengan garam harus
sama dan tunai. Maka barang siapa yang meminta tambahan maka sesungguhnya ia
memungut riba. Orang yang mengambil dan memberikan riba itu sama dosanya.”
(H.R. Ahmad, Muslim dan Nasa’i)
Riba ini diharamkan karena untuk
mencegah timbulnya riba nasi’ah, sehingga ia bersifat prefentif.
Sebagian Ulama ada yang membedakan antara riba nasi’ah dengan
riba fadhl seperti membedakan antara berbuat zina dengan
memandang atau memegang wanita yang bukan mahramnya dengan nafsu
syahwat.Memandang atau memegang wanita seperti itu diharamkan karena untuk
menghindari perbuatan zina. .
Sebagian Ulama ada yang menambahkan
selain kedua jenis riba tersebut diatas, yakni riba yad, yaitu
riba yang dilakukan karena berpisah dari tempat akad sebelum serah terima
terjadi. Kemudian Riba qardi yaitu hutang dengan
syarat ada keuntungan bagi yang memberi hutang[3].
Namun secara umum keduanya termasuk kedalam jenis riba nasi’ah dan
riba fadhl.
Pada dasarnya semua agama samawi di
dunia (revealed religion) melarang praktek riba, karena dapat
menimbulkan dampak bagi masyarakat pada umumnya dan bagi mereka yang terlibat
riba pada khususnya.
Adapun dampak akibat praktek dari
riba itu sendiri diantaranya adalah sebagai berikut5:
1) Menyebabkan eksploatasi (pemerasan)
oleh si kaya terhadap si miskin, sehingga menjadiakan si kaya semakin berjaya
dan si miskin tambah sengsara
2) Dapat menyebabkan kebangkrutan usaha
bila tidak disalurkan pada kegiatan-kegiatan yang produktif, karena kebanyakan
modal yang dikuasai oleh the haves (pengelola) justru
disalurkan dalam perkreditan berbunga yang belum produktif.
3) Menyebabkan kesenjangan ekonomi,
yang pada gilirannya bisa
C. Ayat
dan Hadits Tentang Riba
1. Firman Allah SWT :
“Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda, dan bertaqwalah kamu kepada
Allah supaya kamu mendapat keberuntungan” (Ali Imran : 130)
2. Firman Allah SWT :
“Padahal Allah telah menghalalkan
jual beli dan mengharamkan riba” (Al-Baqarah: 275)
3.
Firman
Allah SWT :
“Hai orang-orang yang beriman,
bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika
kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan
sisa riba), maka ketahuilah bahwa Allah dan RasulNya akan memerangimu. Dan jika
kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu, kamu tidak
menganiaya dan tidak pula dianiaya (Al-Baqarah : 278-279)”
4.
Firman Allah SWT
“Allah memusnahkan riba dan
menyuburkan sedekah. Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam
kekafiran dan bergelimang dosa ” (Al-Baqarah : 276)
5.
Firman Allah SWT
“Dan sesuatu riba (tambahan) yang
kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak
menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu
maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah
orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya)” (Ar-Rum : 39)
6. Sabda Nabi SAW
“Dari Jabir: Rasulullah SAW telah
melaknat (mengutuk) orang yang memakan riba, wakilnya, penulisnya dan dua
saksinya” (HR. Muslim)
D.
Bunga Bank
Bunga bank sendiri dapat diartikan
berupa ketetapan nilai mata uang oleh bank yang memiliki tempo/tenggang waktu,
untuk kemudian pihak bank memberikan kepada pemiliknya atau menarik dari si
peminjam sejumlah bunga (tambahan) tetap sebesar beberapa persen, seperti lima
atau sepuluh persen.
Dengan kata lain bunga bank adalah
sebuah system yang diterapkan oleh bank-bank konvensional (non
Islam) sebagai suatu lembaga keuangan yangmana fungsi utamanya menghimpun dana
untuk kemudian disalurkan kepada yang memerlukan dana (pendanaan), baik
perorangan maupun badan usaha, yang berguna untuk investasi produktif dan
lain-lain.
Bunga bank ini termasuk riba[4],
sehingga bunga bank juga diharamkan dalam ajaran Islam.Bedanya riba dengan
bunga/rente (bank) yakni riba adalah untuk pinjaman yang bersifat konsumtif,
sedangkan bunga/rente (bank) adalah untuk pinjaman yang bersifat produktif[5].
Namun demikian, pada hakikatnya baik riba, bunga/rente atau semacamnya sama
saja prakteknya, dan juga memberatkan bagi peminjam.
Maka dari itu solusinya adalah
dengan mendirikan bank Islam. Yaitu sebuah lembaga keuangan yang dalam
menjalankan operasionalnya menurut atau berdasarkan syari’at dan hukum Islam.
Sudah barang tentu bank Islam tidak memakai system bunga, sebagaimana yang
digunakan bank konvensional. Sebab system atau cara seperti itu
dilarang oleh Islam.
Sebagai pengganti system bunga
tersebut, maka bank Islam menggunakan berbagai macam cara yang tentunya bersih
dan terhindar dari hal-hal yang mengandung unsur riba. Diantaranya adalah
sebagai berikut[6]:
- Wadiah (titipan uang, barang, dan surat berharga atau deposito). Bisa diterapkan oleh bank Islam dalam operasionalnya menghimpun dana dari masyarakat, dengan cara menerima deposito berupa uang, barang dan surat-surat berharga sebagai amanah yang wajib dijaga keselamatannya oleh bank Islam. Bank berhak menggunakan dana yang didepositokan itu tanpa harus membayar imbalannya tetapi bank harus menjamin bisa mengembalikan dana itu kepada waktu pemiliknya membutuhkan
- Mudharabah (kerja sama antara pemilik modal dengan pelaksana atas dasar perjanjian profit and loss sharing).dengan cara ini, bank Islam dapat memberikan tambahan modal kepada pengusaha untuk perusahaannya baik besar maupun kecil dengan perjanjian bagi hasil dan rugi yang perbandingannya sama sesuai dengan perjanjian, misalnya fifty-fifty. Dalam mudharabah ini, bank tidak mencapuri manajeman perusahaan.
- Musyarakah/ syirkah (persekutuhan). Di bawah kerja sama cara ini, pihak bank dan pihak perngusaha mempunyai peranan (saham) pada usaha patungan (joint venture.) karena itu, kedua belah pihak berpartisipasi mengelola usaha patungan ini dan menanggung untung ruginya bersama atas dasar perjanjian tersebut.
- Murabahah (jual beli barang dengan tambahan harga atau cost plus atas dasar harga pembelian yang pertama secara jujur). Dengan cara ini, orang pada hakikatnya ingin merubah bentuk bisnisnya dari kegiatan pinjam meminjam menjadi transaksi jual beli (lending activity menjadi sale and purchase transaction). Dengan system ini, bank bias membelikan/menyediakan barang-barang yang diperlukan oleh pengusaha untuk dijual lagi, dan bank minta tambahan harga (cost plus) atas harga pembelinya. Syarat bisnis dengan murabahah ini ialah si pemilik barang dalam hal ini bank harus memberi informasi yang sebenarnya kepada pembeli tentang harga pembeliannya dan keuntungan bersihnya (profit margin) daripada cost plus-nya itu.
- Qargh Hasan (pinjaman yang baik atau bernevolent loan). Bank Islam dapat memberikan pinjaman tanpa bunga (benevolent loan) kepada para nasabah yang baik, terutama nasabah yang punya deposito di bank Islam itu sebagai salah satu service dan penghargaan bank kepada para deposan, karena deposan tidak menerima bunga atas depositonya dari bank Islam.
- Bank Islam juga dapat menggunakan modalnya dan dana yang terkumpul untuk investasi langsung dalam berbagai bidang usaha yang profitable. Dalam hal ini, bank sendiri yang melakukan manajemennya secara langsung, berbeda dengan investasi patungan, maka manajemennya dilakukan oleh bank bersama partner usahanya dengan perjanjian profit and loss sharing.
- Bank Islam boleh pula mengelola zakat di Negara yang pemerintahnya tidak mengelola zakat secara langsung. Dan bank juga dapat menggunakan sebagian zakat yang terkumpul untuk proyek-proyek yang produktif, yang hasilnya untuk kepentingan agama dan umum.
- Bank Islam juga boleh memungut dan menerima pembayaran untuk :
1)
Mengganti
biaya-biaya yang langsung dikeluarkan oleh bank dalam melaksanakan pekerjaan
untuk kepetingan nasabah, misalnya biaya telegram, telpon, telex dalam
memindahkan atau memberitahukan rekening nasabah dan sebagainya.
2) Membayar gaji para karyawan bank
yang melakukan pekerjaan untuk kepentingan nasabah, dan untuk sarana dan prasarana
yang disediakan oleh bank, dan biaya administrasi pada umumnya.
E.
Hukum Bermuamalah dengan Bank
Konvensional dan Hukum Mendirikan Bank Islam
Pada masa zaman kehidupan modern
seperti saat sekarang ini, umat Islam hampir tidak dapat menghindari diri dari
bermuamalah dengan bank konvensional yang memakai system bunga itu dalam segala
aspek kehidupannya, termasuk dalam beragama.Misalkan ibadah Haji di Indonesia
umat Islam harus memakai jasa bank, apalagi dalam hal kehidupan ekonomi sulit
untuk bisa lepas dari jasa bank itu sendiri. Sebab tanpa jasa bank tersebut,
perekonomian Indonesia mungkin tidak akan selancar dan semaju seperti sekarang.
Namun para ulama dan cendikiawan Muslim sendiri hingga kini masih tetap berbeda
pendapat tentang hukum bermuamalah dengan bank konvensional dan hukum bunga
banknya.
Perbedaan pendapat mereka tersebut dapat disimpulkan sebagai
berikut10 :
- Pendapat Abu Zahrah (Guru Besar Fakultas Hukum, Universitas Cairo), Abul A’la Maududi (Pakistan), Muhammad abdullah Al-‘Arabi (Penasihat Hukum pada Islamic Congres Cairo), dan lainnya yang sependapat menyatakan bahwa bunga bank itu riba nasiah, yang dilarang oleh agama Islam. Oleh karena itu umat Islam tidak diperkenankan bermuamalah dengan bank yang memakai sistem bunga, terkecuali memang benar-benar dalam keadaan darurat atau terpaksa, dengan syarat mereka itu mengharapkan dan menginginkan lahirnya bank Islam yang tidak memakai sistem bunga sama sekali.
- Pendapat A. Hasan pendiri dan Pemimpin Pesantren Bangil (Persis) yang menerangkan bahwa bunga bank seperti di Negara kita ini bukan riba yang diharamkan, karena tidak bersifat ganda sebagaimana yang dinyatakan dalam surat Ali Imran ayat 130.
- Pendapat Majelis Tarjih Muhammadiyah di Sidoarjo (Jawa Timur) tahun 1968 yang memutuskan bahwa bunga bank yang diberikan oleh bank-bank Negara kepada para nasabahnya, demikian pula sebaliknya adalah termasuk syubhat atau mutasyabihat, artinya tidak/belim jelas halal haramnya. Maka sesuai dengan petunjuk Hadits, kita harus berhati-hati menghadapi masalah-masalah yang semisal ini. Karena itu, jika kita dalam keadaan terpaksa atau kita dalam keadaan hajah, artinya keperluan yang mendesak/penting barulah kita diperbolehkan bermuamalah dengan bank yang menggunakan sistem bunga bank itu dengan batasan-batasannya yang telah ditetapkan dalam agama.
Menurut Mustafa Ahmad al-Zarqa’
(Guru Besar Hukum Islam dan Hukum Perdata Universitas Syria), bahwa sistem
perbankan yang kita terima sekarang ini sebagai realitas yang tak dapat kita
hindari. Karenanya umat islam diperbolehkan (mubah) bermuamalah dengan bank
konvensional itu atas pertimbangan dalam keadaan darurat dan bersifat
sementara. Sebab umat Islam harus berusaha mencari jalan keluar dengan
mendirikan bank tanpa adanya system bunga/riba, demi menyelamatkan umat Islam
dari cengkraman budaya yang tidak Islami[7].
Dari sini kemudian kita dapat mengetahui alasan para ulama
maupun cendikiawan Muslim menganjurkan berdirinya bank Islam yakni sebagai
berikut :
- Agar umat Islam tidak selalu berada dalam keadaan darurat dan menghindarkannya dari hal-hal yang bersifat subhat/haram
- Untuk menyelamatkan umat Islam dari praktek bunga, riba, rente dan sebagainya yang mengandung unsur pemaksaan atau pemerasan (eksploitasi) oleh yang berekonomi kuat terhadap yang berekonomian lemah, dan juga menghindarkan dari ketimpangan yang menjadikan si kaya makin kaya dan si miskin menjadi semakin miskin
- Guna melepaskan ketergantungan umat Islam terhadap bank-bank konvensional (non-Islam) yang mengandung unsur syubhat/haram, dan menyebabkan umat islam berada dibawah kekuasaan asing, yang itu membuat keterpurukan dan melemahnya ekonomi Islam, sehingga umat islam tidak dapat menerapkan ajaran agamanya secara menyeluruh dalam kehidupan pribadi maupun bermasyarakat.
- Untuk mengaplikasikan ketentuan kaidah fiqh, “al khuruuju minal khilafi mustahabbun” (menghindari perselisihan ulama itu sunnah hukumnya), sebab ternyata hingga kini ulama maupun para cendikiawan Muslim masih saja terjadi perbedaan pendapat tentang hukum bermuamalah, khusunya dengan bank-bank non Islam (konvensional), karena masalah bunga dan semacamnya itu masih tetap kontroversial dan tidak jelas hukumnya (haram/syubhat/halal).
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Secara umum
Ulama membagi riba itu menjadi dua macam saja, yaitu riba nasi’ah’ dan riba fadil, sedangkan
riba yad dan Ribaqardi termasuk ke dalam
riba nasi’ah dan riba fadhl. Barang-barang yang berlaku riba
padanya ialah emas,perak, dan makanan yang mengeyangkan atau yang berguna untuk
yang mengenyangkan, misalnya garam. Jual beli barang tersebut, kalau sama
jenisnya seperti emas dan dengan emas, gadum dengan gadum, diperlukan tiga
syarat: (1) tunai, (2) serah terima, dan (3) sama timbangannya. Kalau jenisnya
berlianan, tetapi ‘ilat ribanya satu, seperti emas dengan
perak, boleh tidak sama tibangannya, tetapi mesti tunai dan timbang terima.
Kalau jenis dan ‘ilat ribanya berlainan seperti perak dengan
beras, boleh dijial bagaimana saja seperti barang-barang yang lain; berarti
tidak diperlukan suatu syarat dari yang tiga itu.
Riba (termasuk bunga bank) adalah
termasuk dosa besar. Baik pemberi, penulis dan dua saksi riba adalah sama dalam
dosa dan maksiat denganpemakan riba. Tidak boleh bagi seorang Muslim
mengokohkan transaksi riba. Dianjurkan (bahkan wajib) bagi kaum Muslimin untuk
mendirikan bank Islam sesuai dengan syari’at agama, dan menghindarkan dari
segala macam bentuk/praktek riba.
B.
Kritik dan Saran
Demikian makalah ini kami selesaikan
sebagai salah satu tugas perkuliahan pada semester enam ini.Namun kami dari
kelompok 4 sebagai penyusun, menyadari terdapat kekurangan maupun kekhilafan
atau kesalahan, baik dalam penyelesaian maupun pemaparan dari makalah kami ini.
Dari itu, kami sangat mengharap dari
para pembaca atau pendengar sekalian, baik teman-teman maupun Bapak Dosen
sebagai pembimbing dalam mata kuliah ini, untuk turut serta dalam memberikan
kritik yang membangun dan saran yang baik tentunya agar kedepannya nanti kami
akan dan bisa menjadi lebih maju dan baik dari sebelumnya. Amin…ya rabbal
‘alamin !
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Maulana Muhammad, The
Religion of Islam, Lahore, The Ahmadiyah Anjuman Isha’at Islam, 1950,
Al-Suyuti, Al-Jami’
al-Shaghir, vol.1, Cairo, Mustafa al-Babi al-Halabi wa Auladuh, 1954,
al-Zauji, Abdurrahman Isa Ibnu
Qayyim, Al-Muamalat al-Hadits wa Ahkamuha. Mesir:…
Pendapat Abu
Zahrah, Guru Besar pada Fakultas Hukum Universitas Cairo, juga Abul A’la
al-Maududi (Pakistan), Muhammad Abdullah al-‘Arabi, Penasihat Hukum pada
Islamic Congress Cairo dan lainnya.
Rasjid, Sulaiman, Fiqh Islam,
Bandung, Sinar Baru Algensindo, 2006,
Zuhdi, Masjfuk, Masail
Fiqhiyah, Jakarta, Gunung Agung, 1997,
[1] Maulana
Muhammad Ali, The Religion of Islam, Lahore, The Ahmadiyah Anjuman
Isha’at Islam, 1950, hlm. 721
[2] Al-Suyuti, Al-Jami’ al-Shaghir, vol.1, Cairo,
Mustafa al-Babi al-Halabi wa Auladuh, 1954, hlm. 10
[4] Pendapat Abu Zahrah, Guru Besar pada Fakultas Hukum
Universitas Cairo, juga Abul A’la al-Maududi (Pakistan), Muhammad Abdullah
al-‘Arabi, Penasihat Hukum pada Islamic Congress Cairo dan lainnya.
No comments:
Post a Comment