Segala puji dan
syukur kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan kesehatan kepada kita
sehingga penulis masih dapat menyelesaikan makalah KEBIJAKAN PENDIDIKAN yang
berjudul “BIROKRASI DAN PATOLOGI BIROKRASI” ini sesuai dengan waktu yang telah
ditentukan. Shalawat serta salam tak lupa pula kita haturkan kepada junjungan
kita Nabi Muhammad SAW, dimana beliaulah sebagai penyempurna agama islam,
penyempurna akhlak manusia di Dunia.
Dalam penyusunan
makalah ini penulis menyadari bahwa
masih banyak kekurangan yang kami miliki, baik dari segi penulisan
maupun dari segi pembahasan. Oleh sebab itu, kritik dan saran yang bersifat
membangun kami butuhkan demi kesempurnaan makalah ini.
Akhirnya, kami
sebagai penyusun berterimakasih, semoga makalah ini dapat bermanfaat baik bagi
penulis maupun pembaca.
Palu, 10 November 2015
Penyusun
Kelompok V
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR
i
DAFTAR
ISI ii
BAB
I PENDAHULUAN 1
A.
Latar
Belakang
1
B.
Rumusan
Masalah 1
C.
Tujuan 1
BAB
II PEMBAHASAN 2
A.
Pengertian
Birokrasi 2
B.
Fungsi Birokrasi 4
C.
Pengertian Patologi Birokrasi 5
D.
Gejala Terjadinya Patologi (Penyakit) Birokrasi 6
E.
Jenis-jenis Patologi 7
F.
Upaya-upaya dalam Menanggulangi Patologi Birokrasi 9
BAB
III PENUTUP 13
Kesimpulan
13
DAFTAR
PUSTAKA 14
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam perjalanan Bangsa Indonesia birokrasi
tidak bisa dilepaskan dalam sistem
pemerintahan. Keberadaan birokrasi sampai saat masih membawa polemik yang berkepanjangan. Tuntutan reformasi
setidaknya telah merubah wajah birokrasi Indonesia meskipun belum terlalu
signifikan. Agenda reformasi dalam tubuh birokrasi di Indonesia ditujukan bukan
lagi sekedar untuk membangun Institusi birokrasi yang professional secara
menejerial, namun pada bagaimana birokrasi tersebut mampu merepresentasikan
konfigurasi sosial yang ada untuk menjamin keterwakilan masing-masing komunitas sosial yang telah mengakar
kuat di dalam tubuh birokrasi.
Pendeteksian penyakit birokrasi atau yang
sering disebut patologi dalam dunia medis sebainya juga dilakukan kepada
birokrasi di Indonesia. Hal ini dimaksudkan agar penyakit-penyakit yang ada
dalam tubuh birokrasi di Indonesia tidak menular ke yang lainnya sebagi upaya
preventif bahkan lebih dari itu bisa disembuhkan secara total meskipun
membutuhkan waktu yang lama. Upaya meminimalisir penyakit yang terjadi di
birokrasi dihrapkan dapt membawa perubahan terhadap pelayanan publik yang
prima.
B. Rumusan Masalah
a.
Apakah pengertian dari Birokrasi?
b.
Apakah pengertian Patologi Birokrasi?
c.
Apakah upaya-upaya untuk menanggulangi patologi birokrasi?
C. Tujuan
Penulisan
Tujuan
penulisan makalah ini adalah untuk dapat memahami secara mudah tentang
pengertian dari Birokrasi, Patologi Birokrasi, dan fungsi dari Birokrasi itu
baik dalam pemerintahan maupun dalam dunia pendidikan.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Birokrasi
Pengertian
Birokrasi, Birokrasi berasal dari kata bureaucracy (bahasa Inggris bureau + cracy), diartikan
sebagai suatu organisasi yang memiliki rantai komando dengan bentuk piramida,
dimana lebih banyak orang berada ditingkat bawah dari pada tingkat atas,
biasanya ditemui pada instansi yang sifatnya administratif maupun militer.
Organisasi ini pun memiliki aturan dan prosedur ketat sehingga cenderung kurang
fleksibel.
Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia, birokrasi
didefinisikan sebagai Sistem pemerintahan yang dijalankan oleh pegawai pemerintah karena telah berpegang pada hirarki dan jenjang jabatan, Cara bekerja atau susunan pekerjaan yang serba lamban, serta menurut tata aturan (adat dan sebagainya) yang
banyak liku-likunya dan sebagainya[1]. Definisi
birokrasi ini mengalami revisi, dimana birokrasi selanjutnya didefinisikan
sebagai Sistem pemerintahan yang dijalankan oleh pegawai bayaran yang tidak
dipilih oleh rakyat, dan Cara pemerintahan yang sangat dikuasai oleh pegawai.
Sedangkan Pengertian Birokrasi menurut para ahli adalah:
1.
Hegel dan Karl
Marx
Keduanya
mengartikan birokrasi sebagai instrumen untuk melakukan pembebasan dan
transformasi sosial. Hegel berpendapat birokrasi adalah medium yang dapat
dipergunakan untuk menghubungkan kepentingan partikular dengan kepentingan
general (umum). Sementara itu teman seperjuangannya, Karl Marx, berpendapat
bahwa birokrasi merupakan instrumen yang dipergunakan oleh kelas yang dominan
untuk melaksanakan kekuasaan dominasinya atas kelas-kelas sosial lainnya,
dengan kata lain birokrasi memihak kepada kelas partikular yang mendominasi
tersebut.
2.
Bintoro Tjokroamidjojo
Menurut Bintoro
Tjokroamidjojo (1984) ”Birokrasi dimaksudkan untuk mengorganisir secara teratur
suatu pekerjaan yang harus dilakukan oleh banyak orang”.
Dengan demikian
sebenarnya tujuan dari adanya birokrasi adalah agar pekerjaan dapat
diselesaikan dengan cepat dan terorganisir. Bagaimana suatu pekerjaan yang
banyak jumlahnya harus diselesaikan oleh banyak orang sehingga tidak terjadi
tumpang tindih di dalam penyelesaiannya, itulah yang sebenarnya menjadi tugas
dari birokrasi.
3. Blau dan Page
Blau dan Page
(1956) mengemukakan ”Birokrasi sebagai tipe dari suatu organisasi yang
dimaksudkan untuk mencapai tugas-tugas administratif yang besar dengan cara
mengkoordinir secara sistematis (teratur) pekerjaan dari banyak orang”. Jadi
menurut Blau dan Page, birokrasi justru untuk melaksanakan prinsip-prinsip
organisasi yang ditujukan untuk meningkatkan efisiensi administratif, meskipun
kadangkala di dalam pelaksanaannya birokratisasi seringkali mengakibatkan
adanya ketidakefisienan.
4. Ismani
Dengan mengutip
pendapat dari Mouzelis, Ismani (2001) mengemukakan ”Bahwa dalam birokrasi
terdapat aturan-aturan yang rasional, struktur organisasi dan proses
berdasarkan pengetahuan teknis dan dengan efisiensi dan setinggi-tingginya.
Dari pandangan yang demikian tidak sedikitpun alasan untuk menganggap birokrasi
itu jelek dan tidak efisien”.
5.
Fritz Morstein Marx Dengan mengutip pendapat Fritz Morstein Marx,
Bintoro Tjokroamidjojo (1984)
Mengemukakan
bahwa birokrasi adalah ”Tipe organisasi yang dipergunakan pemerintahan modern
untuk pelaksanaan berbagai tugas-tugas yang bersifat spesialisasi, dilaksanakan
dalam sistem administrasi yang khususnya oleh aparatur pemerintahan”.
6.
Riant Nugroho Dwijowijoto Dengan mengutip Blau dan Meyer,
Dwijowijoto (2004)
Menjelaskan bahwa ”Birokrasi adalah suatu lembaga yang
sangat kuat dengan kemampuan untuk meningkatkan kapasitas-kapasitas potensial
terhadap hal-hal yang baik maupun buruk dalam keberadaannya sebagai instrumen
administrasi rasional yang netral pada skala yang besar”. Selanjutnya
dikemukakan bahwa ”Di dalam masyarakat modern, dimana terdapat begitu banyak
urusan yang terus-menerus dan ajeg, hanya organisasi birokrasi yang mampu
menjawabnya. Birokrasi dalam praktek dijabarkan sebagai pegawai negeri sipil”[2].
B.
Fungsi
Birokrasi
Birokrasi,
dalam keadaan demikian, hanya berfungsi sebagai pengendali, penegak disiplin,
dan penyelenggara pemerintahan dengan kekuasaan yang sangat besar, tetapi
sangat mengabaikan fungsi pelayanan masyarakat. Buruk serta tidak transparannya
kinerja birokrasi bisa mendorong masyarakat untuk mencari ”jalan pintas” dengan
suap atau berkolusi dengan para pejabat dalam rekrutmen pegawai atau untuk
memperoleh pelayanan yang cepat. Situasi seperti ini pada gilirannya seringkali
mendorong para pejabat untuk mencari ”kesempatan” dalam ”kesempitan” agar
mereka dapat menciptakan rente dari pelayanan berikutnya.
Apabila
ditelusuri lebih jauh, gejala patologi dalam birokrasi, menurut Sondang P.
Siagian, bersumber pada lima masalah pokok.
a.
persepsi gaya
manajerial para pejabat di lingkungan birokrasi yang menyimpang dari
prinsip-prinsip demokrasi. Hal ini mengakibatkan bentuk patologi seperti:
penyalahgunaan wewenang dan jabatan menerima sogok, dan nepotisme.
b.
rendahnya pengetahuan dan keterampilan para
petugas pelaksana berbagai kegiatan operasional, mengakibatkan produktivitas
dan mutu pelayanan yang rendah, serta pegawai sering berbuat kesalahan.
c.
tindakan
pejabat yang melanggar hukum, dengan ”penggemukan” pembiayaan, menerima sogok,
korupsi dan sebagainya.
d.
manifestasi perilaku birokrasi yang bersifat
disfungsional atau negatif, seperti: sewenang-wenang, pura-pura sibuk, dan
diskriminatif.
Aakibat situasi
internal berbagai instansi pemerintahan yang berakibat negatif terhadap
birokrasi, seperti: imbalan dan kondisi kerja yang kurang memadai, ketiadaan
deskripsi dan indikator kerja, dan sistem pilih kasih. Jenis Patologi Birokrasi
Menurut Sondang P. Siagian (1988) ada beberapa patologi birokrasi yang dapat
dijumpai, antara lain: Penyalahgunaan wewenang dan tanggung jawab, Pengaburan
masalah,Indikasi korupsi, kolusi dan nepotisme, Indikasi mempertahankan status
quo, Empire bulding (membina kerajaan), Ketakutan pada perubahan, inovasi dan
resiko, Ketidakpedulian pada kritik dan saran, Takut mengambil keputusan,
Kurangnya kreativitas dan eksperimentasi, Kredibilitas yang rendah, kurang visi
yang imajinatif,Minimnya pengetahuan dan keterampilan, dll.
C. Pengertian Patologi
Birokrasi
Prof. Dr. Sondang P.Siagian, MPA., (1988)
mengatakan bahwa pentingnya patologi ialah agar diketahui berbagai jenis
penyakit yang mungkin diderita oleh manusia. Analogi itulah yang berlaku pula
bagi suatu birokrasi. Artinya agar seluruh birokrasi pemerintahan negara mampu
menghadapi berbagai tantangan yang mungkin timbul baik bersifat politik,
ekonomi, sosio-kultural dan teknologikal. Risman K. Umar (2002) mendifinisikan
bahwa patologi birokrasi adalah penyakit atau bentuk perilaku birokrasi yang
menyimpang dari nilai-nilai etis, aturan-aturan dan ketentuan-ketentuan
perundang-undangan serta norma-norma yang berlaku dalam birokrasi[3].
Patologi Birokrasi juga diartikan dalam beberapa artian seperti sebagai
berikut:
1.
Birokrasi
sebagai organisasi yang berpenyakit (patologis)
2.
Organisasi dan
perilaku birokrat yang inefektif dan inefisien
3.
Struktur dan
fungsi organisasi besar yang sering melakukan kesalahan dan tidak mampu
berubah.
D.
Gejala
Terjadinya Patologi (penyakit) Birokrasi
Berbagai keluhan dan kritikan mengenai kinerja
birokrasi memang bukan hal baru lagi, karena sudah ada sejak zaman dulu.
Birokrasi lebih menunjukkan kondisi empirik yang sangat buruk, negatif atau
sebagai suatu penyakit (bureau patology), seperti Parkinsonian (big
bureaucracy), Orwellian (peraturan yang menggurita sebagai perpanjangan
tangan negara untuk mengontrol masyarakat) atau Jacksonian (bureaucratic
polity), ketimbang citra yang baik atau rasional (bureau rationality),
seperti yang dikandung misalnya, dalam birokrasi Hegelian dan Weberian.
Citra buruk tersebut semakin diperparah dengan
isu yang sering muncul ke permukaan, yang berhubungan dengan kedudukan dan
kewenangan pejabat publik, yakni korupsi dengan beranekaragam bentuknya, serta
lambatnya pelayanan, dan diikuti dengan prosedur yang berbelit-belit atau yang
lebih dikenal dengan efek pita merah (red-tape). Keseluruhan kondisi empirik
yang terjadi secara akumulatif telah meruntuhkan konsep birokrasi Hegelian dan
Weberian yang memfungsikan birokasi untuk mengkoordinasikan unsur-unsur dalam
proses pemerintahan.
Jenis Patologi
Sistem Organisasi Birokrasi “parkinsonian”, dimana terjadinya proses
pertumbuhan jumlah personil dan pemekaran struktur dalam birokrasi secara tidak
terkendali. Pemekaran yang terjadi bukan karena tuntutan fungsi, tetapi
semata-mata untuk memenuhi tuntutan struktur dan kekuasaan. Birokrasi
“orwellian” yakni proses pertumbuhan kekuasaan birokrasi atas masyarakat,
sehingga kehidupan masyarakat menjadi dikendalikan oleh birokrasi.
Beberapa hal
lain yang termasuk kedalam patologi birokrasi Organisasi atau kelompok antara
lain :
1.
Terlalu percaya
pada preseden, padahal tuntutan telah berubah.
2.
Formalisme dan
Kurang inisiatif (takut membuat kesalahan)
3.
Inertia (lamban
dalam berbagai urusan/keputusan)
4.
Duplikasi
kegiatan dan departementalisme Red tape (cara kerja yang berbelit-belit dan
ditunda-tunda)
5.
Peraturan
dijadikan tujuan dan menjadi senjata para birokrat untuk melindungi
kepentingannya dan mempertahankan status quo.
6.
Budaya korupsi
( korupsi berjamaah) : discretionary corruption: diskriminasi, spoil system,
kolusi illegal corruption: menyalahi aturan yang ada mercenary corruption:
penggelapan uang, komisi, suap, kuitansi fiktif,mark up, ruislag, ideological
corruption: Kebijakan yang memihak partai/ideologi.
E.
Jenis-jenis
Patologi
a. Jenis Patologi Sistem Organisasi Birokrasi
Jenis Patologi
Sistem Organisasi Birokrasi “parkinsonian”, dimana terjadinya proses
pertumbuhan jumlah personil dan pemekaran struktur dalam birokrasi secara tidak
terkendali. Pemekaran yang terjadi bukan karena tuntutan fungsi, tetapi
semata-mata untuk memenuhi tuntutan struktur dan kekuasaan. Birokrasi
“orwellian” yakni proses pertumbuhan kekuasaan birokrasi atas masyarakat,
sehingga kehidupan masyarakat menjadi dikendalikan oleh birokrasi.
Beberapa hal
lain yang termasuk kedalam patologi birokrasi Organisasi atau kelompok antara
lain :
1.
Terlalu percaya
pada preseden, padahal tuntutan telah berubah.
2.
Formalisme dan
Kurang inisiatif (takut membuat kesalahan)
3.
Inertia (lamban
dalam berbagai urusan/keputusan)
4.
Duplikasi
kegiatan dan departementalisme Red tape (cara kerja yang berbelit-belit dan
ditunda-tunda)
5.
Peraturan
dijadikan tujuan dan menjadi senjata para birokrat untuk melindungi kepentingannya
dan mempertahankan status quo.
Budaya korupsi (korupsi berjamaah): discretionary
corruption: diskriminasi, spoil system, kolusi illegal corruption:
menyalahi aturan yang ada mercenary corruption: penggelapan uang,
komisi, suap, kuitansi fiktif,mark up, ruislag, ideological corruption:
Kebijakan yang memihak partai/ideologi.
b. Jenis Patologi Prilaku Birokrat
1.
Penyalahgunaan
wewenang dan jabatan (korupsi): menerima suap, markup, menetapkan imbalan, kontrak
fiktif, penipuan.
2.
Tindakan
sewenang-wenang: ekstorsi (pemerasan secara kasar/halus). Misalnya: pemotongan
insentif, rapel, gaji dsb.
3.
Empire Building dengan
menciptakan para aktor dependent disekelilingnya: promosi (pangkat dan jabatan)
, bonus dsb.
4.
Nepotisme/primordialisme
: perekrutan dan penempatan posisi atas dasar “pertalian darah” /kesukuan
kedaerahan bukan kompetensi.
5.
SycoSphancy (kecenderungan
ingin memuaskan atasan dengan cara yang counter productive,)
6.
Konsumerisme
dan hedonisme
7.
Takut mengambil
keputusan/mengambil resiko (Decidiophiobia):
8.
Mutu Pelayanan
terhadap pelanggan rendah: acuh tak acuh , pura-pura sibuk, tidak sopan,
diskriminasi.
9.
Disiplin dan
Semangat kerja umumnya rendah.
10.
Armandiloisme: mamalia
penggangsir yang melindungi diri dengan memo, rapat dan perangkat peraturan
11.
Hyperpolysyllabicomia: gemar memakai
kata-kata jargon (samar) dan yang muluk untuk menutupi kelemahannya
Penyelesaian Masalah Atau Solusi Patologi Birokrasi Ada penyakit ada pula
obatnya.
F.
Upaya-Upaya
dalam Menanggulangi Patologi Birokrasi
Untuk mengatasi
Patologi Birokrasi, sebaiknya seluruh lapisan masyarakat saling bahu-membahu
bekerjasama untuk melaksanakan proses pemerintahan dengan sebaik-baiknya.
Solusi dari Patologi Birokrasi tidak akan menjadi obat yang mujarab jika
seluruh lapisan masyarakat tidak saling mendukung. Karena setiap element baik
dari pemerintah, dunia bisnis, masyarakat kecil, dan pihak swasta memiliki
keterkaitan yang sangat pokok dalam berjalannya pemerintahan.
Solusi yang
ditawarkan untuk mengatasi Patologi Birokrasi yaitu:
pertama, perlu adanya
reformasi administrasi yang global. Artinya reformasi administrasi bukan hanya
sekedar mengganti personil saja, bukan hanya merubah nama intansi tertentu
saja, atau bukan hanya mengurangi atau merampingkan birokrasi saja namun juga
reformasi yang tidak kasat mata seperti upgrading kualitas birokrat, perbaikan
moral, dan merubah cara pandang birokrat, bahwa birokrasi merupakan suatu alat
pelayanan publik dan bukan untuk mencari keuntungan.
kedua, pembentukan
kekuatan hukum dan per-Undang-Undangan yang jelas. Kekuatan hukum sangat
berpengaruh pada kejahatan-kejahatan, termasuk kejahatan dan penyakait-penyakit
yang ada di dalam birokrasi. Kita sering melihat bahwa para koruptor tidak
pernah jera walaupun sering keluar masuk buih. Ini dikarenakan hukuman yang
diterima tidak sebanding dengan apa yang diperbuat.
Pembentukan
supremasi hukum dapat dilakukan dengan cara:
1.
Kepemimpinan
yang adil dan kuat
2.
Alat penegak
hukum yang yang kuat dan bersih dari kepentingan politik
3.
Adanya
pengawasan tidak berpihak dalam pelaksanaan kegiatan pemerintahan dalam
birokrasi.
Ketiga ialah dengan
cara menciptakan sistem akuntabilitas dan transparansi. Kurangnya demokrasi dan
rasa bertanggung jawab yang ada dalam birokrasi membuat para birokrat semakin
mudah untuk menyeleweng dari hal yang semstinya dilakukan. Pengawasan dari
bawah dan dari atas merupakan alat dari penciptaan akuntabilitas dan
transparansi ini. Pembentukan E-Government diharapkan mampu menambah
transparansi sehingga mampu memperkuat akuntabilitas para birokrat. Merubah
Patologi Birokrasi Melalui Prinsip Good Governance Mar'ie Muhammad
(Media Transparansi 1998) menyatakan bahwa good governance itu ada jika
pembagian kekuasaan ada.
Untuk lebih detailnya prinsip-prinsip good
governance dapat merubah patologi birokrasi, maka dapat diuaraikan sebagai
berikut:
- Participation: Melalui prinsip ini akan masyarakat terlibat dalam pembuatan keputusan yang bangun atas dasar kebebasan berasosiasi dan berbicara serta berpartsipasi secara konstruktif, sehingga dengan demikian maka pemerintahan tidak menjadi otoriter dalam mengambil keputusan. Keputusan yang dihasilakan merupakan representasi dari keinginan masyarakat dan tidak dapat diintervensi oleh pihak-pihak yang ingin memanfaatkan pemerintah.
- Rule of law: Supremasi hukum merupakan langkah yang harus diambil untuk meminimalisir atau menghilangkan praktek-praktek patologi dalam birokrasi. Dengan penegakan hukum yang baik maka indikasi untuk melakukan kesalahan akan terhapus karena para birokrat akan merasa takut dengan ancaman hukum.
- Transparansi: Melalui prinsip transparansi maka segala hal yang dilakukan oleh pemerintah atau birokrat dapat di kontrol oleh masyarakat melalui informasi yang terbuka dan bebas diakses. Transparansi ini mendorong birokrasi untuk senantiasa menjalankan aturan sesuai ketentuan dan perundang-undangan, karena bila tidak sasuai masyarakat pasti mengetahui dan melakukan penututan.
- Responsiveness: Paradigma baru birokrasi menekanakan bahwa pemerintah harus dapat melayani kebutuhan masyarakat umum dan memberi respon terhadap tuntutan pembangunan. Patologi yang selama ini terjadi dimana pemerintah dilayani oleh masyarakat, maka dengan prinsip responsiveness pemerintah harus sedapat mungkin memberikan pelayanan kepada stakeholders.
- Effectiveness and efficiency: Pemborosan yang terjadi dalam praktek pengelolaan organisasi birokrasi dapat diminimalisir oleh prinsip ini. Terutama dalam pengelolaan anggaran pemerintah.
- Accountability: Melalui pertanggungjawaban kepada publik maka birokrasi menjadi hati-hati dalam bertindak, dengan akuntabilitas publik pemerintah harus memberikan keterangan yang tepat dan jelas tentang kinerjanya secara keseluruhan.
- Strategic vision: Melalui straegi visi maka akan tumbuh dalam setiap birokrat akan nilai-nilai idealisme dan harapan-harapan organisasi dan negara untuk masa yang akan datang. Nilai-nilai dan harapan-harapan ini akan memeberikan kesan praktek pelaksaan pekerjaan birokrasi.
Risman K. Umar (2002) mendifinisikan bahwa
patologi birokrasi adalah penyakit atau bentuk perilaku birokrasi yang
menyimpang dari nilai-nilai etis, aturan-aturan dan ketentuan-ketentuan
perundang-undangan serta norma-norma yang berlaku dalam birokrasi. [4]
Menurut Sondang P. Siagian (1988) ada beberapa
patologi birokrasi yang dapat dijumpai, antara lain :
- Penyalahgunaan wewenang dan tanggung jawab
- Pengaburan masalah
- Indikasi korupsi, kolusi dan nepotisme
- Indikasi mempertahankan status quo
- Empire bulding (membina kerajaan)
- Ketakutan pada perubahan, inovasi dan resiko
- Ketidakpedulian pada kritik dan saran
- Takut mengambil keputusan
- Kurangnya kreativitas dan eksperimentasi
- Kredibilitas yang rendah, kurang visi yang imajinatif,
- Minimnya pengetahuan dan keterampilan, dll. Solusi untuk mengatasi Patologi Birokrasi yaitu:
- Perlu adanya reformasi administrasi yang global.
- Pembentukan kekuatan hukum dan per-Undang-Undangan yang jelas
- Dengan cara menciptakan sistem akuntabilitas dan transparansi[5].
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1.
Birokrasi didefinisikan sebagai Sistem pemerintahan yang dijalankan oleh pegawai pemerintah karena telah berpegang pada hirarki dan jenjang jabatan, Cara bekerja atau susunan pekerjaan yang serba lamban, serta menurut tata aturan (adat dan sebagainya) yang banyak liku-likunya dan sebagainya. Definisi
birokrasi ini mengalami revisi, dimana birokrasi selanjutnya didefinisikan
sebagai Sistem pemerintahan yang dijalankan oleh pegawai bayaran yang tidak
dipilih oleh rakyat, dan Cara pemerintahan yang sangat dikuasai oleh
pegawai.
2. Patologi birokrasi
adalah penyakit atau bentuk perilaku birokrasi yang menyimpang dari nilai-nilai
etis, aturan-aturan dan ketentuan-ketentuan perundang-undangan serta
norma-norma yang berlaku dalam birokrasi.
3. Untuk mengatasi Patologi Birokrasi, sebaiknya
seluruh lapisan masyarakat saling bahu-membahu bekerjasama untuk melaksanakan
proses pemerintahan dengan sebaik-baiknya. Solusi dari Patologi Birokrasi tidak
akan menjadi obat yang mujarab jika seluruh lapisan masyarakat tidak saling
mendukung. Karena setiap element baik dari pemerintah, dunia bisnis, masyarakat
kecil, dan pihak swasta memiliki keterkaitan yang sangat pokok dalam
berjalannya pemerintahan.
DAFTAR PUSTAKA
Kbbi.web.id, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, (On-Line) diakses pada Sabtu, 7 November 2015.
Muzfa, Andi Akbar, Prilaku Birokrasi Menyimpang (Patologi
Birokrasi), www.blogspot.co.id (On-Line) diakses pada Jumat, 6 November
2015.
Muzfa, Andi Akbar, Upaya Mengatasi Patologi Birokrasi,
www.blogspot.co.id (On-Line) diakses pada Jumat, 6 November 2015.
[1]Kbbi.web.id, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (On-Line) diakses pada
Sabtu, 7 November 2015
[2]Andi Akbar
Muzfa, Prilaku Birokrasi Menyimpang (Patologi Birokrasi),
www.blogspot.co.id (On-Line) diakses pada Jumat, 6 November 2015
[4] Andi Akbar Muzfa, Upaya Mengatasi Patologi Birokrasi,
www.blogspot.co.id (On-Line) diakses pada Jumat, 6 November 2015
No comments:
Post a Comment