Sumberku Makalah - MAKALAH BIROKRASI DAN PATOLOGI BIROKRASI - Sumberku Makalah

Sumberku Makalah

Sumberku Makalah merupakan blog milik Imron Nur Huda yang merupakan salah seorang alumni Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Palu tahun 2018 yang kini telah beralih status menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) Datokarama Palu. Dimana di dalamnya berisi tentang makalah-makalah yang notabenenya merupakan tugas kuliah dari sang pemilik blog beserta teman-temannya.

Post Top Ad

Responsive Ads Here

 





Sumberku Makalah - MAKALAH BIROKRASI DAN PATOLOGI BIROKRASI

Sumberku Makalah - MAKALAH BIROKRASI DAN PATOLOGI BIROKRASI

Share This


KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan kesehatan kepada kita sehingga penulis masih dapat menyelesaikan makalah KEBIJAKAN PENDIDIKAN yang berjudul “BIROKRASI DAN PATOLOGI BIROKRASI” ini sesuai dengan waktu yang telah ditentukan. Shalawat serta salam tak lupa pula kita haturkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, dimana beliaulah sebagai penyempurna agama islam, penyempurna akhlak manusia di Dunia.
Dalam penyusunan makalah ini penulis menyadari bahwa  masih banyak kekurangan yang kami miliki, baik dari segi penulisan maupun dari segi pembahasan. Oleh sebab itu, kritik dan saran yang bersifat membangun kami butuhkan demi kesempurnaan makalah ini.
Akhirnya, kami sebagai penyusun berterimakasih, semoga makalah ini dapat bermanfaat baik bagi penulis maupun pembaca.






Palu, 10 November 2015
Penyusun

Kelompok V






DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR                                                                                         i
DAFTAR ISI                                                                                                        ii
BAB I PENDAHULUAN                                                                                   1                                     
A.    Latar Belakang                                                                                          1
B.     Rumusan Masalah                                                                                     1
C.     Tujuan                                                                                                       1
BAB II PEMBAHASAN                                                                                    2
A.    Pengertian Birokrasi                                                                                  2
B.     Fungsi Birokrasi                                                                                        4
C.     Pengertian Patologi Birokrasi                                                                   5
D.    Gejala Terjadinya Patologi (Penyakit) Birokrasi                                       6
E.     Jenis-jenis Patologi                                                                                    7
F.      Upaya-upaya dalam Menanggulangi Patologi Birokrasi                           9
BAB III PENUTUP                                                                                             13
Kesimpulan                                                                                                           13
DAFTAR PUSTAKA                                                                                          14


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Dalam perjalanan Bangsa Indonesia birokrasi tidak bisa dilepaskan dalam sistem pemerintahan. Keberadaan birokrasi sampai saat masih membawa polemik yang berkepanjangan. Tuntutan reformasi setidaknya telah merubah wajah birokrasi Indonesia meskipun belum terlalu signifikan. Agenda reformasi dalam tubuh birokrasi di Indonesia ditujukan bukan lagi sekedar untuk membangun Institusi birokrasi yang professional secara menejerial, namun pada bagaimana birokrasi tersebut mampu merepresentasikan konfigurasi sosial yang ada untuk menjamin keterwakilan masing-masing komunitas sosial yang telah mengakar kuat di dalam tubuh birokrasi.
Pendeteksian penyakit birokrasi atau yang sering disebut patologi dalam dunia medis sebainya juga dilakukan kepada birokrasi di Indonesia. Hal ini dimaksudkan agar penyakit-penyakit yang ada dalam tubuh birokrasi di Indonesia tidak menular ke yang lainnya sebagi upaya preventif bahkan lebih dari itu bisa disembuhkan secara total meskipun membutuhkan waktu yang lama. Upaya meminimalisir penyakit yang terjadi di birokrasi dihrapkan dapt membawa perubahan terhadap pelayanan publik yang prima.

B.     Rumusan Masalah
a.       Apakah pengertian dari Birokrasi?
b.      Apakah pengertian Patologi Birokrasi?
c.       Apakah upaya-upaya untuk menanggulangi patologi birokrasi?

C.    Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk dapat memahami secara mudah tentang pengertian dari Birokrasi, Patologi Birokrasi, dan fungsi dari Birokrasi itu baik dalam pemerintahan maupun dalam dunia pendidikan.


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Birokrasi
Pengertian Birokrasi, Birokrasi berasal dari kata bureaucracy (bahasa Inggris bureau + cracy), diartikan sebagai suatu organisasi yang memiliki rantai komando dengan bentuk piramida, dimana lebih banyak orang berada ditingkat bawah dari pada tingkat atas, biasanya ditemui pada instansi yang sifatnya administratif maupun militer. Organisasi ini pun memiliki aturan dan prosedur ketat sehingga cenderung kurang fleksibel.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, birokrasi didefinisikan sebagai Sistem pemerintahan yang dijalankan oleh pegawai pemerintah karena telah berpegang pada hirarki dan jenjang jabatan, Cara bekerja atau susunan pekerjaan yang serba lamban, serta menurut tata aturan (adat dan sebagainya) yang banyak liku-likunya dan sebagainya[1]. Definisi birokrasi ini mengalami revisi, dimana birokrasi selanjutnya didefinisikan sebagai Sistem pemerintahan yang dijalankan oleh pegawai bayaran yang tidak dipilih oleh rakyat, dan Cara pemerintahan yang sangat dikuasai oleh pegawai. 
Sedangkan Pengertian Birokrasi menurut para ahli adalah:
1.      Hegel dan Karl Marx
Keduanya mengartikan birokrasi sebagai instrumen untuk melakukan pembebasan dan transformasi sosial. Hegel berpendapat birokrasi adalah medium yang dapat dipergunakan untuk menghubungkan kepentingan partikular dengan kepentingan general (umum). Sementara itu teman seperjuangannya, Karl Marx, berpendapat bahwa birokrasi merupakan instrumen yang dipergunakan oleh kelas yang dominan untuk melaksanakan kekuasaan dominasinya atas kelas-kelas sosial lainnya, dengan kata lain birokrasi memihak kepada kelas partikular yang mendominasi tersebut.


2.      Bintoro Tjokroamidjojo
Menurut Bintoro Tjokroamidjojo (1984) ”Birokrasi dimaksudkan untuk mengorganisir secara teratur suatu pekerjaan yang harus dilakukan oleh banyak orang”.
Dengan demikian sebenarnya tujuan dari adanya birokrasi adalah agar pekerjaan dapat diselesaikan dengan cepat dan terorganisir. Bagaimana suatu pekerjaan yang banyak jumlahnya harus diselesaikan oleh banyak orang sehingga tidak terjadi tumpang tindih di dalam penyelesaiannya, itulah yang sebenarnya menjadi tugas dari birokrasi.
3.      Blau dan Page
Blau dan Page (1956) mengemukakan ”Birokrasi sebagai tipe dari suatu organisasi yang dimaksudkan untuk mencapai tugas-tugas administratif yang besar dengan cara mengkoordinir secara sistematis (teratur) pekerjaan dari banyak orang”. Jadi menurut Blau dan Page, birokrasi justru untuk melaksanakan prinsip-prinsip organisasi yang ditujukan untuk meningkatkan efisiensi administratif, meskipun kadangkala di dalam pelaksanaannya birokratisasi seringkali mengakibatkan adanya ketidakefisienan.
4.      Ismani  
Dengan mengutip pendapat dari Mouzelis, Ismani (2001) mengemukakan ”Bahwa dalam birokrasi terdapat aturan-aturan yang rasional, struktur organisasi dan proses berdasarkan pengetahuan teknis dan dengan efisiensi dan setinggi-tingginya. Dari pandangan yang demikian tidak sedikitpun alasan untuk menganggap birokrasi itu jelek dan tidak efisien”.
5.      Fritz Morstein Marx Dengan mengutip pendapat Fritz Morstein Marx, Bintoro Tjokroamidjojo (1984)
Mengemukakan bahwa birokrasi adalah ”Tipe organisasi yang dipergunakan pemerintahan modern untuk pelaksanaan berbagai tugas-tugas yang bersifat spesialisasi, dilaksanakan dalam sistem administrasi yang khususnya oleh aparatur pemerintahan”.
6.      Riant Nugroho Dwijowijoto  Dengan mengutip Blau dan Meyer, Dwijowijoto (2004)
Menjelaskan  bahwa ”Birokrasi adalah suatu lembaga yang sangat kuat dengan kemampuan untuk meningkatkan kapasitas-kapasitas potensial terhadap hal-hal yang baik maupun buruk dalam keberadaannya sebagai instrumen administrasi rasional yang netral pada skala yang besar”. Selanjutnya dikemukakan bahwa ”Di dalam masyarakat modern, dimana terdapat begitu banyak urusan yang terus-menerus dan ajeg, hanya organisasi birokrasi yang mampu menjawabnya. Birokrasi dalam praktek dijabarkan sebagai pegawai negeri sipil”[2].

B.     Fungsi Birokrasi
Birokrasi, dalam keadaan demikian, hanya berfungsi sebagai pengendali, penegak disiplin, dan penyelenggara pemerintahan dengan kekuasaan yang sangat besar, tetapi sangat mengabaikan fungsi pelayanan masyarakat. Buruk serta tidak transparannya kinerja birokrasi bisa mendorong masyarakat untuk mencari ”jalan pintas” dengan suap atau berkolusi dengan para pejabat dalam rekrutmen pegawai atau untuk memperoleh pelayanan yang cepat. Situasi seperti ini pada gilirannya seringkali mendorong para pejabat untuk mencari ”kesempatan” dalam ”kesempitan” agar mereka dapat menciptakan rente dari pelayanan berikutnya. 
Apabila ditelusuri lebih jauh, gejala patologi dalam birokrasi, menurut Sondang P. Siagian, bersumber pada lima masalah pokok.
a.       persepsi gaya manajerial para pejabat di lingkungan birokrasi yang menyimpang dari prinsip-prinsip demokrasi. Hal ini mengakibatkan bentuk patologi seperti: penyalahgunaan wewenang dan jabatan menerima sogok, dan nepotisme.
b.       rendahnya pengetahuan dan keterampilan para petugas pelaksana berbagai kegiatan operasional, mengakibatkan produktivitas dan mutu pelayanan yang rendah, serta pegawai sering berbuat kesalahan.
c.       tindakan pejabat yang melanggar hukum, dengan ”penggemukan” pembiayaan, menerima sogok, korupsi dan sebagainya.
d.       manifestasi perilaku birokrasi yang bersifat disfungsional atau negatif, seperti: sewenang-wenang, pura-pura sibuk, dan diskriminatif.
Aakibat situasi internal berbagai instansi pemerintahan yang berakibat negatif terhadap birokrasi, seperti: imbalan dan kondisi kerja yang kurang memadai, ketiadaan deskripsi dan indikator kerja, dan sistem pilih kasih. Jenis Patologi Birokrasi Menurut Sondang P. Siagian (1988) ada beberapa patologi birokrasi yang dapat dijumpai, antara lain: Penyalahgunaan wewenang dan tanggung jawab, Pengaburan masalah,Indikasi korupsi, kolusi dan nepotisme, Indikasi mempertahankan status quo, Empire bulding (membina kerajaan), Ketakutan pada perubahan, inovasi dan resiko, Ketidakpedulian pada kritik dan saran, Takut mengambil keputusan, Kurangnya kreativitas dan eksperimentasi, Kredibilitas yang rendah, kurang visi yang imajinatif,Minimnya pengetahuan dan keterampilan, dll.

C.    Pengertian Patologi Birokrasi
Prof. Dr. Sondang P.Siagian, MPA., (1988) mengatakan bahwa pentingnya patologi ialah agar diketahui berbagai jenis penyakit yang mungkin diderita oleh manusia. Analogi itulah yang berlaku pula bagi suatu birokrasi. Artinya agar seluruh birokrasi pemerintahan negara mampu menghadapi berbagai tantangan yang mungkin timbul baik bersifat politik, ekonomi, sosio-kultural dan teknologikal. Risman K. Umar (2002) mendifinisikan bahwa patologi birokrasi adalah penyakit atau bentuk perilaku birokrasi yang menyimpang dari nilai-nilai etis, aturan-aturan dan ketentuan-ketentuan perundang-undangan serta norma-norma yang berlaku dalam birokrasi[3]. Patologi Birokrasi juga diartikan dalam beberapa artian seperti sebagai berikut:
1.      Birokrasi sebagai organisasi yang berpenyakit (patologis)
2.      Organisasi dan perilaku birokrat yang inefektif dan inefisien
3.      Struktur dan fungsi organisasi besar yang sering melakukan kesalahan dan tidak mampu berubah.

D.    Gejala Terjadinya Patologi (penyakit) Birokrasi
Berbagai keluhan dan kritikan mengenai kinerja birokrasi memang bukan hal baru lagi, karena sudah ada sejak zaman dulu. Birokrasi lebih menunjukkan kondisi empirik yang sangat buruk, negatif atau sebagai suatu penyakit (bureau patology), seperti Parkinsonian (big bureaucracy), Orwellian (peraturan yang menggurita sebagai perpanjangan tangan negara untuk mengontrol masyarakat) atau Jacksonian (bureaucratic polity), ketimbang citra yang baik atau rasional (bureau rationality), seperti yang dikandung misalnya, dalam birokrasi Hegelian dan Weberian. 
Citra buruk tersebut semakin diperparah dengan isu yang sering muncul ke permukaan, yang berhubungan dengan kedudukan dan kewenangan pejabat publik, yakni korupsi dengan beranekaragam bentuknya, serta lambatnya pelayanan, dan diikuti dengan prosedur yang berbelit-belit atau yang lebih dikenal dengan efek pita merah (red-tape). Keseluruhan kondisi empirik yang terjadi secara akumulatif telah meruntuhkan konsep birokrasi Hegelian dan Weberian yang memfungsikan birokasi untuk mengkoordinasikan unsur-unsur dalam proses pemerintahan. 
Jenis Patologi Sistem Organisasi Birokrasi “parkinsonian”, dimana terjadinya proses pertumbuhan jumlah personil dan pemekaran struktur dalam birokrasi secara tidak terkendali. Pemekaran yang terjadi bukan karena tuntutan fungsi, tetapi semata-mata untuk memenuhi tuntutan struktur dan kekuasaan. Birokrasi “orwellian” yakni proses pertumbuhan kekuasaan birokrasi atas masyarakat, sehingga kehidupan masyarakat menjadi dikendalikan oleh birokrasi.
Beberapa hal lain yang termasuk kedalam patologi birokrasi Organisasi atau kelompok antara lain : 
1.      Terlalu percaya pada preseden, padahal tuntutan telah berubah. 
2.      Formalisme dan Kurang inisiatif (takut membuat kesalahan) 
3.      Inertia (lamban dalam berbagai urusan/keputusan) 
4.      Duplikasi kegiatan dan departementalisme Red tape (cara kerja yang berbelit-belit dan ditunda-tunda) 
5.      Peraturan dijadikan tujuan dan menjadi senjata para birokrat untuk melindungi kepentingannya dan mempertahankan status quo. 
6.      Budaya korupsi ( korupsi berjamaah) : discretionary corruption: diskriminasi, spoil system, kolusi illegal corruption: menyalahi aturan yang ada mercenary corruption: penggelapan uang, komisi, suap, kuitansi fiktif,mark up, ruislag, ideological corruption: Kebijakan yang memihak partai/ideologi. 

E.     Jenis-jenis Patologi
a.      Jenis Patologi Sistem Organisasi Birokrasi
Jenis Patologi Sistem Organisasi Birokrasi “parkinsonian”, dimana terjadinya proses pertumbuhan jumlah personil dan pemekaran struktur dalam birokrasi secara tidak terkendali. Pemekaran yang terjadi bukan karena tuntutan fungsi, tetapi semata-mata untuk memenuhi tuntutan struktur dan kekuasaan. Birokrasi “orwellian” yakni proses pertumbuhan kekuasaan birokrasi atas masyarakat, sehingga kehidupan masyarakat menjadi dikendalikan oleh birokrasi.
Beberapa hal lain yang termasuk kedalam patologi birokrasi Organisasi atau kelompok antara lain : 
1.      Terlalu percaya pada preseden, padahal tuntutan telah berubah. 
2.      Formalisme dan Kurang inisiatif (takut membuat kesalahan) 
3.      Inertia (lamban dalam berbagai urusan/keputusan) 
4.      Duplikasi kegiatan dan departementalisme Red tape (cara kerja yang berbelit-belit dan ditunda-tunda) 
5.      Peraturan dijadikan tujuan dan menjadi senjata para birokrat untuk melindungi kepentingannya dan mempertahankan status quo. 
Budaya korupsi (korupsi berjamaah): discretionary corruption: diskriminasi, spoil system, kolusi illegal corruption: menyalahi aturan yang ada mercenary corruption: penggelapan uang, komisi, suap, kuitansi fiktif,mark up, ruislag, ideological corruption: Kebijakan yang memihak partai/ideologi. 
b.      Jenis Patologi Prilaku Birokrat
1.      Penyalahgunaan wewenang dan jabatan (korupsi): menerima suap, markup, menetapkan imbalan, kontrak fiktif, penipuan.
2.      Tindakan sewenang-wenang: ekstorsi (pemerasan secara kasar/halus). Misalnya: pemotongan insentif, rapel, gaji dsb.
3.      Empire Building dengan menciptakan para aktor dependent disekelilingnya: promosi (pangkat dan jabatan) , bonus dsb.
4.      Nepotisme/primordialisme : perekrutan dan penempatan posisi atas dasar “pertalian darah” /kesukuan kedaerahan bukan kompetensi.
5.      SycoSphancy (kecenderungan ingin memuaskan atasan dengan cara yang counter productive,)
6.      Konsumerisme dan hedonisme
7.      Takut mengambil keputusan/mengambil resiko (Decidiophiobia):
8.      Mutu Pelayanan terhadap pelanggan rendah: acuh tak acuh , pura-pura sibuk, tidak sopan, diskriminasi.
9.      Disiplin dan Semangat kerja umumnya rendah.
10.  Armandiloisme: mamalia penggangsir yang melindungi diri dengan memo, rapat dan perangkat peraturan
11.  Hyperpolysyllabicomia: gemar memakai kata-kata jargon (samar) dan yang muluk untuk menutupi kelemahannya Penyelesaian Masalah Atau Solusi Patologi Birokrasi Ada penyakit ada pula obatnya.

F.     Upaya-Upaya dalam Menanggulangi Patologi Birokrasi
Untuk mengatasi Patologi Birokrasi, sebaiknya seluruh lapisan masyarakat saling bahu-membahu bekerjasama untuk melaksanakan proses pemerintahan dengan sebaik-baiknya. Solusi dari Patologi Birokrasi tidak akan menjadi obat yang mujarab jika seluruh lapisan masyarakat tidak saling mendukung. Karena setiap element baik dari pemerintah, dunia bisnis, masyarakat kecil, dan pihak swasta memiliki keterkaitan yang sangat pokok dalam berjalannya pemerintahan. 
Solusi yang ditawarkan untuk mengatasi Patologi Birokrasi yaitu: 
pertama, perlu adanya reformasi administrasi yang global. Artinya reformasi administrasi bukan hanya sekedar mengganti personil saja, bukan hanya merubah nama intansi tertentu saja, atau bukan hanya mengurangi atau merampingkan birokrasi saja namun juga reformasi yang tidak kasat mata seperti upgrading kualitas birokrat, perbaikan moral, dan merubah cara pandang birokrat, bahwa birokrasi merupakan suatu alat pelayanan publik dan bukan untuk mencari keuntungan. 
kedua, pembentukan kekuatan hukum dan per-Undang-Undangan yang jelas. Kekuatan hukum sangat berpengaruh pada kejahatan-kejahatan, termasuk kejahatan dan penyakait-penyakit yang ada di dalam birokrasi. Kita sering melihat bahwa para koruptor tidak pernah jera walaupun sering keluar masuk buih. Ini dikarenakan hukuman yang diterima tidak sebanding dengan apa yang diperbuat. 
Pembentukan supremasi hukum dapat dilakukan dengan cara:
1.      Kepemimpinan yang adil dan kuat
2.      Alat penegak hukum yang yang kuat dan bersih dari kepentingan politik
3.      Adanya pengawasan tidak berpihak dalam pelaksanaan kegiatan pemerintahan dalam birokrasi.
Ketiga ialah dengan cara menciptakan sistem akuntabilitas dan transparansi. Kurangnya demokrasi dan rasa bertanggung jawab yang ada dalam birokrasi membuat para birokrat semakin mudah untuk menyeleweng dari hal yang semstinya dilakukan. Pengawasan dari bawah dan dari atas merupakan alat dari penciptaan akuntabilitas dan transparansi ini. Pembentukan E-Government diharapkan mampu menambah transparansi sehingga mampu memperkuat akuntabilitas para birokrat. Merubah Patologi Birokrasi Melalui Prinsip Good Governance Mar'ie Muhammad (Media Transparansi 1998) menyatakan bahwa good governance itu ada jika pembagian kekuasaan ada. 
Untuk lebih detailnya prinsip-prinsip good governance dapat merubah patologi birokrasi, maka dapat diuaraikan sebagai berikut:
  1. Participation: Melalui prinsip ini akan masyarakat terlibat dalam pembuatan keputusan yang bangun atas dasar kebebasan berasosiasi dan berbicara serta berpartsipasi secara konstruktif, sehingga dengan demikian maka pemerintahan tidak menjadi otoriter dalam mengambil keputusan. Keputusan yang dihasilakan merupakan representasi dari keinginan masyarakat dan tidak dapat diintervensi oleh pihak-pihak yang ingin memanfaatkan pemerintah.
  2. Rule of law: Supremasi hukum merupakan langkah yang harus diambil untuk meminimalisir atau menghilangkan praktek-praktek patologi dalam birokrasi. Dengan penegakan hukum yang baik maka indikasi untuk melakukan kesalahan akan terhapus karena para birokrat akan merasa takut dengan ancaman hukum.
  3. Transparansi: Melalui prinsip transparansi maka segala hal yang dilakukan oleh pemerintah atau birokrat dapat di kontrol oleh masyarakat melalui informasi yang terbuka dan bebas diakses. Transparansi ini mendorong birokrasi untuk senantiasa menjalankan aturan sesuai ketentuan dan perundang-undangan, karena bila tidak sasuai masyarakat pasti mengetahui dan melakukan penututan.
  4. Responsiveness: Paradigma baru birokrasi menekanakan bahwa pemerintah harus dapat melayani kebutuhan masyarakat umum dan memberi respon terhadap tuntutan pembangunan. Patologi yang selama ini terjadi dimana pemerintah dilayani oleh masyarakat, maka dengan prinsip responsiveness pemerintah harus sedapat mungkin memberikan pelayanan kepada stakeholders.
  5. Effectiveness and efficiency: Pemborosan yang terjadi dalam praktek pengelolaan organisasi birokrasi dapat diminimalisir oleh prinsip ini. Terutama dalam pengelolaan anggaran pemerintah.
  6. Accountability: Melalui pertanggungjawaban kepada publik maka birokrasi menjadi hati-hati dalam bertindak, dengan akuntabilitas publik pemerintah harus memberikan keterangan yang tepat dan jelas tentang kinerjanya secara keseluruhan.
  7. Strategic vision: Melalui straegi visi maka akan tumbuh dalam setiap birokrat akan nilai-nilai idealisme dan harapan-harapan organisasi dan negara untuk masa yang akan datang. Nilai-nilai dan harapan-harapan ini akan memeberikan kesan praktek pelaksaan pekerjaan birokrasi. 

Risman K. Umar (2002) mendifinisikan bahwa patologi birokrasi adalah penyakit atau bentuk perilaku birokrasi yang menyimpang dari nilai-nilai etis, aturan-aturan dan ketentuan-ketentuan perundang-undangan serta norma-norma yang berlaku dalam birokrasi. [4] 
Menurut Sondang P. Siagian (1988) ada beberapa patologi birokrasi yang dapat dijumpai, antara lain :
  1. Penyalahgunaan wewenang dan tanggung jawab
  2. Pengaburan masalah
  3. Indikasi korupsi, kolusi dan nepotisme
  4. Indikasi mempertahankan status quo
  5. Empire bulding (membina kerajaan)
  6. Ketakutan pada perubahan, inovasi dan resiko
  7. Ketidakpedulian pada kritik dan saran
  8. Takut mengambil keputusan
  9. Kurangnya kreativitas dan eksperimentasi
  10. Kredibilitas yang rendah, kurang visi yang imajinatif,
  11. Minimnya pengetahuan dan keterampilan, dll. Solusi untuk mengatasi Patologi Birokrasi yaitu:
  12. Perlu adanya reformasi administrasi yang global.
  13. Pembentukan kekuatan hukum dan per-Undang-Undangan yang jelas
  14. Dengan cara menciptakan sistem akuntabilitas dan transparansi[5].























BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1.      Birokrasi didefinisikan sebagai Sistem pemerintahan yang dijalankan oleh pegawai pemerintah karena telah berpegang pada hirarki dan jenjang jabatan, Cara bekerja atau susunan pekerjaan yang serba lamban, serta menurut tata aturan (adat dan sebagainya) yang banyak liku-likunya dan sebagainya. Definisi birokrasi ini mengalami revisi, dimana birokrasi selanjutnya didefinisikan sebagai Sistem pemerintahan yang dijalankan oleh pegawai bayaran yang tidak dipilih oleh rakyat, dan Cara pemerintahan yang sangat dikuasai oleh pegawai. 
2.      Patologi birokrasi adalah penyakit atau bentuk perilaku birokrasi yang menyimpang dari nilai-nilai etis, aturan-aturan dan ketentuan-ketentuan perundang-undangan serta norma-norma yang berlaku dalam birokrasi.
3.      Untuk mengatasi Patologi Birokrasi, sebaiknya seluruh lapisan masyarakat saling bahu-membahu bekerjasama untuk melaksanakan proses pemerintahan dengan sebaik-baiknya. Solusi dari Patologi Birokrasi tidak akan menjadi obat yang mujarab jika seluruh lapisan masyarakat tidak saling mendukung. Karena setiap element baik dari pemerintah, dunia bisnis, masyarakat kecil, dan pihak swasta memiliki keterkaitan yang sangat pokok dalam berjalannya pemerintahan. 










DAFTAR PUSTAKA

Kbbi.web.id, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (On-Line) diakses pada Sabtu, 7 November 2015.
Muzfa, Andi Akbar, Prilaku Birokrasi Menyimpang (Patologi Birokrasi), www.blogspot.co.id (On-Line) diakses pada Jumat, 6 November 2015.
Muzfa, Andi Akbar, Upaya Mengatasi Patologi Birokrasi, www.blogspot.co.id (On-Line) diakses pada Jumat, 6 November 2015.




[1]Kbbi.web.id, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (On-Line) diakses pada Sabtu, 7 November 2015
[2]Andi Akbar Muzfa, Prilaku Birokrasi Menyimpang (Patologi Birokrasi), www.blogspot.co.id (On-Line) diakses pada Jumat, 6 November 2015
[3] Ibid,
[4] Andi Akbar Muzfa, Upaya Mengatasi Patologi Birokrasi, www.blogspot.co.id (On-Line) diakses pada Jumat, 6 November 2015
[5] Ibid,
 


No comments:

Post a Comment

Post Bottom Ad

Responsive Ads Here