BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sumber hukum agama Islam terdiri dari
2 (dua) sumber yakni al-Qur’an dan al-hadîts. Orang Islam tidak akan mungkin, bisa memahami syariat Islam secara
mendalam dan lengkap tanpa kembali kepada kedua sumber Islam tersebut. Seorang
mujtahid dan seorang ulama pun tidak diperbolehkan hanya mencukupkan diri
dengan mengambil salah satu keduanya.
Dilihat dari sudut periwayatannya,
jelas antara hadîts dan al-Qur’an terdapat perbedaan. Untuk al-Qur’an
semua periwayatannya berlangsung secara mutawatir. Sedangkan periwayatan hadîts sebagian berlangsung secara
mutawatir dan sebagian lagi berlangsung secara ahad. Sehingga mulai
dari sinilah timbul berbagai pendapat dalam menilai kualitas hadîts. Sekaligus
sumber perdebatan dalam kancah ilmiah, atau bahkan dalam kancah-kancah non-ilmiah. Istilah lain yang semakna dengan hadîts ialah
sunnah, khabar dan âtsâr.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian hadîts, sunnah, khabar dan âtsâr?
2. Bagaimana kedudukan hadîts?
3. Apa fungsi hadîts terhadap al-Qur’an?
C. Tujuan
Tujuan pembuatan makalah ini adalah
untuk memenuhi tugas mata kuliah ‘Ulūm al-hadîts, serta untuk memberikan sedikit pengetahuan kepada para
pembaca tentang Hadîts sebagai Sumber Ajaran Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Hadîts, Sunnah, Khabar, dan Atsâr
a. Hadîts
Hadîts menurut bahasa al-jadîd
yang artinya sesuatu yang baru, lawan dari al-jadîd ialah al-Qadim
yang berarti lama. Hadîts juga memiliki arti qarib yang artinya
yang dekat, berarti menunjukan kepada waktu yang dekat atau waktu yang singkat.[1]
Seperti حَدِيثُ
الْعَهْد فِي الإِسْلَمِ (orang yang baru masuk/memeluk agama
Islam). Hadîts juga sering disebut
dengan khabar yang berarti berita,
yaitu sesuatu yang dipercayakan dan dipindahkan dari seseorang kepada orang
lain, sama maknannya dengan hadîts. Hadîts dengan
pengertian khabar dapat dilihat pada beberapa ayat al-Qur’an, seperti QS.
Al-Thûr (52): 34, QS. Al-Kahfi (18): 6, dan QS. Al-Dhuhâ (93): 11.[2]
Rasulullah SAW juga telah menggunakan lafad “hadîts” dengan arti “khabar
yang dating dari beliau” atau sabdanya:
يُوْشِكُ أَحَدُكُمْ أَنْ يَقُوْلَ
هَذَا كِتَبُ اللهِ. مَا كَانَ فِيْهِ مِنْ حَلَالٍ أَحْلَلْنَاهُ وَمَا كَانَ فِيْهِ
مِنْ حَرَامٍ حَرَمْنَاهُ اِلَّا مَنْ بَلَغَهُ عَنِّى حَدِيْثٌ فَكَذَبَ بِهِ. فَقَدْ
كَذَّبَ ثَلَا ثَةً اَللهُ وَرَسُوْلُهُ وَالَّذِىْ حَدَّثَ بِهِ
‘Hampir-hampir akan ada
seseorang kamu yang akan berkata : Ini Kitabullah. Apa yang halal di
dalamnya, kami halalkan. Apa yang haram di dalamnya kami haramkan. Ketahuilah,
barang siapa sampai kepadanya sesuatu ‘hadits’ khibar daripadaku, lalu dia
dustakan, berartilah dia dustakan tiga: dia mendustakan Allah – dia mendustakan
RasulNya – dia mendustakan orang yang menyampaikan hadits itu’. (HR. Ahmad dan Ad Darimy)
[3]
Sedangkan hadîts
menurut istilah (terminologi), para ahli memberikan definisi (ta’rîf)
yang berbeda-beda sesuai dengan latar belakang disiplin ilmunya. Seperti
pengertian hadîts menurut ahli ushul akan berbeda dengan pengertian yang
diberikan oleh ahli hadîts.
Menurut ahli hadîts,
pengertian hadîts ialah:
اَقْوَالُ النَّبِى صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَاَفْعَالُهُ
وَاَحْوَالُهُ
“Segala perkataan Nabi, perbuatan, dan hal ihwalnya”.
Demikian kata Al Hafidh
dalam Syarah Al Bukhary. Dan Al Hafidh dari Shakhawi. Yang dimaksud dengan “hal
ihwal” ialah segala yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad Saw yang berkaitan
dengan himmah, karakteristik, sejarah kelahiran, dan kebiasaan-kebiasaannya.[4]
Ulama hadîts
memandang bahwa sosok pribadi Nabi Muhammad SAW adalah seorang pemimpin dan
member petunjuk kepada umatnya, serta sebagai suri tauladan (uswatun hasanah)
bagi mereka, di mana perkataan, perbuatan, penetapan, sifat-sifat beliau, dan
prilakunya perlu dijadikan contoh dan panutan bagi umatnya.[5]
Sebagian ulama seperti Ath Thiby
berpendapat, bahwa hadîts
itu melengkapi sabda Nabi, perbuatan beliau dan taqrir beliau: melengkapi
perkataan, perbuatan dan taqrir sahabat, sebagaimana melengkapi pula perkataan,
perbuatan dan taqrir tabi’in. Dengan demikian, terbagilah hadîts menjadi
Sembilan bagian. Pendapat ini diterangkan oleh Al Hafidh di dalam An Nakhbah.
Maka sesuatu hadîts yang sampai kepada Nabi, dinamai marfu’, yang
sampai kepada sahabat, dinamai mauqûf dan yang sampai kepada tabi’in
saja dinamai maqthû’.[6]
Sementara para
ulama ushûl memberikan pengertian hadîts adalah
أَقْوَالُهُ وَأَفْعَالُهُ وَتَقْرِيْرَاتُهُ الَّتِى تَثْبُتُ الْأَ حْكَامُ
وَتُقَرِّرُهَا
‘Segala perkataan Nabi SAW, perbuatan, dan taqrirnya yang berkaitan
dengan hukum syara’ dan ketetapannya’.[7]
Berdasarkan pengertian hadîts menurut ahli ushûl ini jelas
bahwa hadîts adalah segala sesuatu
yang bersumber dari Nabi Muhammad SAW baik ucapan, perbuatan, maupun ketetapan
yang berhubungan dengan hukum atau ketentuan-ketentuan Allah yang disyariatkan
kepada manusia.
Ahli ushûl membedakan
diri Muhammad sebagai rasul dan sebagai manusia biasa. Yang dikatakan hadîts adalah sesuatu yang
berkaitan dengan misi dan ajaran Allah yang diemban oleh Muhammad SAW sebagai
Rasulullah. Ini pun, menurut mereka harus berupa ucapan beliau dan perbuatan beliau
serta ketetapan-ketetapannya. Sedangkan kebiasaan-kebiasaan, tata cara
berpakaian, cara tidur dan sejenisnya merupakan kebiasaan manusia dan sifat
kemanusiaan tidak dapat dikategorikan sebagai
hadîts.[8] Dengan demikian, pengertian hadîts
menurut ahli ushûl lebih sempit dibanding dengan pengertian hadîts menurut ahli hadîts.
b. Sunnah
Untuk
mengungkapkan apa yang bersumber dari Nabi Muhammad SAW telah berkembang
dikalangan umat Islam dengan istilah sunnah (سُنَّةٌ)
Istilah
sunnah itu terkadang masih dianggap belum definitif sehingga perlu dipertegas lagi
menjadi sunnah Nabi atau sunnah Rasul. Ditinjau dari etimologis (kebahasaan),
kata sunnah. Sebagaimana dikemukakan oleh pakar bahasa Arab, Imam Muhammad Abu
Bakr ‘Abd al-Qadir al-Razi dalam kitab kamusnya, Mukhtar al-Shihhah, berarti
perilaku (al-Sirah). Dr. Muhammad ‘Ajjaj al-Khathib, seorang pakar ‘Ulum al-hadîts, menambahkan, baik
prilaku yang positif ataupun prilaku yang negatif.[9]
Ulama bahasa Arab dan ‘Ulum al-hadîts memahami makna sunnah
seperti itu berdasarkan makna sunnah yang termaktub dalam sebuah hadîts
shahih berikut ini:
عَنْ جَرِيْرِبْنِ
عَبْدِاللهِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ، قَالَ رَسُوْلُاللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلّمَ مَنْ سَنَّ فِى الاِسْلَامِ سُنّةً حَسَنَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ
لَهُ مِثْلُ اَجْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلَا يُنْقَصُ مِنْ اُجُوْرِهِمْ شَبْئٌ وَمَنْ
سَنَّ فِى الْاِ سْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً فَعِمُلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ لَهُ مِثْلُ
وِزْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلَا يُنْقَصُ مِنْ اَوْزَارِهِمْ شَيْئُ (رواه مسلم(
‘Dari Jarir bin
‘Abdullah r.a. ia berkata, Rasulullah SAW telah bersabda: Barang siapa yang
berperilaku dalam Islam dengan perilaku yang baik, lalu perilakunya itu ditiru
oleh orang yang sesudahnya, maka diberikan kepadanya pahala seperti pahala
orang yang menirunya. Dan barang siapa yang berperilaku dalam Islam dengan
perilaku yang buruk, lalu perilakunya itu ditiru oleh orang sesudahnya, maka
diberikan kepadanya dosa seperti dosa orang yang menirunya, dengan tidak
dikurangi sedikitpun dari dosa orang yang menirunya’. (HR. Imam Muslim).
Dari hadîts sahih di atas, nyatalah bahwa sunnah itu ditinjau dari segi
etimologis (kebahasaan) berarti perilaku. Dan karena dalam hadîts itu
terdapat kata-kata: “Sunnah Hasanah” dan “Sunnah Sayyi’ah”,
berarti sunnah menurut etimologis adakalanya perilaku baik dan adakalanya
perilaku buruk.[10]
Sedang sunnah menurut istilah, di kalangan ulama
terdapat perbedaan pendapat. Hal ini disebabkan karena perbedaan latar
belakang, persepsi, dan sudut pandang masing-masing terhadap diri Rasulullah
SAW secara garis besarnya mereka terkelompok menjadi tiga golongan: ahli hadîts,
ahli ushûl, dan
ahli fiqh.
Pengertian sunnah menurut ahli hadîts ialah segala yang bersumber Nabi SAW baik berupa perkataan,
perbuatan, taqrir, perangai, budi pekerti, perjalanan hidup, baik sebelum
diangkat menjadi rasul maupun sesudahnya.[11]
Jadi dengan definisi tersebut, para ahli hadîts menyamakan antara sunnah
dengan hadîts. Mereka menafsirkan makna sunnah ini sebagai seluruh
kebiasaan Nabi Muhammad SAW, baik yang melahirkan hukum syara’ maupun
tidak.
Berbeda dengan ahli hadîts, ahli ushûl mengatakan, sunnah adalah segala
sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW yang berhubungan dengan hukum
syara’, baik berupa perkataan, perbuatan, maupun taqrir beliau. [12]
Pemahaman ahli ushûl ini membatasi pengertian sunnah
hanya pada segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Muhammad SAW, hal ini
didasarkan pada argumentasi rasional bahwa Rasulullah SAW, sebagai pembawa dan
pengatur undang-undang yang menerangkan kepada manusia tentang undang-undang
hidup. Seperti firman Allah SWT:
!$tBur ãNä39s?#uä ãAqߧ9$# çnräãsù $tBur öNä39pktX çm÷Ytã (#qßgtFR$$sù 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# ( ¨bÎ) ©!$# ßÏx© É>$s)Ïèø9$# (الحشر:٧)
‘…apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. Dan apa yang
dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya
Allah Amat keras hukumannya’. (QS. Al-Hasyr [59]: 7). [13]
Sedangkan sunnah menurut ahli fiqh yakni
segala ketetapan yang berasal dari Nabi Muhammad SAW selain yang difardukan dan
diwajibkan dan termasuk hukum (taklifi) yang lima yaitu wajib, sunnat,
mubah, makruh, dan haram.[14]
c. Khabar
Khabar menurut etimologis ialah berita yang
disampaikan dari seseorang. Jamaknya adalah akhbar, orang banyak
menyampaikan khabar dinamai khabir. Khabar digunakan untuk segala
sesuatu yang diterima dari yang selain Nabi Muhammad SAW. Mengingat hal inilah
orang yang meriwayatkan hadits dinamai muhaddits, dan orang yang
meriwayatkan sejarah dinamai akhbary. Oleh karenanya, menurut mereka,
khabar berbeda dengan hadits.[15]
d. Atsâr
Atsâr
menurut etimologis, ialah bekasan sesuatu atau sisa dari sesuatu. Dan nukilan
(yang dinukilkan), sesuatu do’a umpamanya yang dinukilkan dari Nabi dinamai
do’a ma’tsur.[16]
Sedangkan âtsâr menurut istilah terjadi perbedaan
pendapat di antara pendapat para ulama. Sedangkan menurut istilah yaitu segala
sesuatu yang diriwayatkan dari sahabat, dan boleh juga disandarkan pada
perkataan Nabi SAW. Jumhur ulama mengatakan bahwa âtsâr sama dengan khabar,
yaitu sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW, sahabat dan tabi’in. Sedangkan
menurut ulama Khurasan bahwa âtsâr untuk yang mauqûf dan khabar untuk
yang marfû’.[17]
Dari keempat pengertian tentang hadîts, sunnah, khabar, dan âtsâr sebagaimana diuraikan di atas,
dapat ditarik satu pengertian bahwa keempat istilah tersebut pada dasarnya
memiliki kesamaan maksud, yaitu segala sesuatu yang bersumber dari Nabi
Muhammad SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, maupun taqrirnya.
B. Kedudukan Hadîts dan Fungsi Hadîts
a. Kedudukan Hadîts
Seluruh umat Islam telah
sepakat hadîts Rasul merupakan sumber dan dasar hukum Islam setelah
al-Qur’an, dan umat islam diwajibkan mengikuti hadîts sebagaimana
diwajibkan mengikuti al-Qur’an.
Banyak ayat al-Qur’an dan hadîts
yang memberikan pengertian bahwa hadîts itu merupakan sumber hukum Islam
selain al-Qur’an yang wajib diikuti, baik dalam bentuk perintah maupun
larangannya. Uraian dibawah ini merupakan paparan tentang kedudukan hadîts
sebagai sumber hukum Islam dengan melihat beberapa dalil, baik naqli maupun
aqli. Diantara ayat-ayat yang dimaksud adalah firman Allah SWT:
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãYÏB#uä «!$$Î/ ¾Ï&Î!qßuur É=»tFÅ3ø9$#ur Ï%©!$# tA¨tR 4n?tã ¾Ï&Î!qßu É=»tFÅ6ø9$#ur
üÏ%©!$# tAtRr& `ÏB ã@ö6s% 4 `tBur öàÿõ3t «!$$Î/ ¾ÏmÏFs3Í´¯»n=tBur ¾ÏmÎ7çFä.ur ¾Ï&Î#ßâur ÏQöquø9$#ur ÌÅzFy$# ôs)sù
¨@|Ê Kx»n=|Ê #´Ïèt/ (النساء:١٣٦)
‘Wahai
orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada
kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya serta kitab yang Allah turunkan
sebelumnya. Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya,
kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari Kemudian, Maka Sesungguhnya orang
itu telah sesat sejauh-jauhnya’. (QS. Al-Nisâ [4]: 136) [18]
Dalam ayat lain Allah SWT berfirman:
ö@è% (#qãèÏÛr& ©!$# ^qߧ9$#ur ( bÎ*sù (#öq©9uqs? ¨bÎ*sù ©!$# w =Ïtä tûïÍÏÿ»s3ø9$# (ال عمران:٣٢)
‘Katakanlah:
"Ta'atilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, Maka Sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang kafir".’ (QS. Ali ‘Imrân [3]: 32) [19]
Dalam salah satu pesan Rasulullah SAW
berkenaan dengan keharusan menjadikan hadîts sebagai pedoman hidup, disamping al-Qur’an
sebagai pedoman utamanya, beliau bersabda:
تَرَكْتُ فِيْكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا كِتَابُ
اللهِ وَسُنَّةَ نبِيّهِ (رواه مالك(
‘Aku tinggalkan dua pusaka
untukmu sekalian, yang kalian tidak akan tersesat selagi kamu berpegang teguh
pada keduanya, yaitu berupa kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya’. (HR. Malik) [20].
...فعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّا شِدِينَ الْمَهْدِيِّيْنَ
تَمَسَّكُوْا بِهَا وَعَضُّوْا عَلَيْهَا... (رواه ابوداود وابن ماجه(
‘Wajib bagi sekalian berpegang
teguh dengan sunnahku dan Sunnah Khulafa ar-Rasyidin (khalifah yang mendapat
petunjuk) berpegang teguhlah kamu sekalian dengannya’. (HR. Abu Daud dan
Ibn Mâjah) [21].
b. Fungsi Hadîts
Al-Qur’an dan hadîts sebagai pedoman hidup,
sumber hukum ajaran dalam Islam, antara satu dengan yang lainnya tidak dapat
dipisahkan. Keduanya merupakan satu kesatuan. Al-Qur’an sebagai sumber pertama
dan utama banyak memuat ajaran-ajaran yang bersifat umum dan global. Oleh karena
itu kehadiran hadîts, sebagai sumber ajaran kedua tampil untuk
menjelaskan (bayân) keumuman isi al-Qur’an. Hal ini sesuai dengan firman Allah
SWT:
!$uZø9tRr&ur y7øs9Î) tò2Ïe%!$# tûÎiüt7çFÏ9 Ĩ$¨Z=Ï9 $tB tAÌhçR öNÍkös9Î) öNßg¯=yès9ur crã©3xÿtGt (النحل:٤٤)
‘Dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat
manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka berpikir’. (QS. An-Nahl [16]: 44). [22]
Drs. Munzier Suparta, M.A dalam bukunya Ilmu Hadîts menyebutkan empat
fungsi hadîts yakni:
1) Bayan
at-Taqrîr
Bayan at-taqrîr disebut juga dengan bayan al-ta’kîd
dan bayan al-itsbât. Yang dimaksud bayan ini, ialah menetapkan dan memperkuat
apa yang telah diterangkan di dalam al-Qur’an. Fungsi hadîts dalam hal ini hanya
memperkokoh isi kandungan al-Qur’an. Suatu contoh hadîts yang
diriwayatkan Muslim dari Ibnu Umar yang artinya:
‘Apabila kalian melihat (ru’yah) bulan, maka berpuasalah, juga apabila
melihat (ru’yah) maka berbukalah’. (HR. Muslim).
Hadîts ini mentaqrîr ayat al-Qur’an
dibawah ini:
`yJsù yÍky ãNä3YÏB tök¤¶9$# çmôJÝÁuù=sù (البقرة:
١٨٥)
‘Maka barangsiapa yang mempersaksikan pada waktu
itu bulan, hendaklah ia berpuasa…’ (QS. Al-Baqarah [2]: 185
2) Bayan
al-Tafsîr
Yang dimaksud dengan bayan al-tafsîr adalah bahwa hadîts berfungsi untuk
memberikan rincian dan tafsiran terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang masih
bersifat global (mujmal), diantara contoh tentang ayat-ayat al-Qur’an
yang masih mujmal adalah perintah mengerjakan shalat, puasa, zakat,
disyariatkannya jual beli, nikah, qishas, hudud dan sebagainya. Sebagai
contoh hadîts yang berfungsi sebagai bayan at-tafsîr:
صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي
أُصَلِّي (رواه البخارى(
‘Shalatlah sebagaimana engkau
melihat aku shalat’. (HR. Bukhari)
Hadîts ini menjelaskan bagaimana mendirikan shalat.
Sebab dalam al-Qur’an tidak menjelaskan secara rinci. Salah satu ayatnya:
(#qßJÏ%r&ur no4qn=¢Á9$# (#qè?#uäur no4qx.¨9$# (#qãèx.ö$#ur yìtB tûüÏèÏ.º§9$# (البقرة: ٤٣)
‘Dan
dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang
ruku'. (QS. Al-Baqarah [2]: 43).
3) Bayan
at-Tasyrî’
Yang dimaksud dengan bayan at-tasyrî’ adalah
mewujudkan suatu hukum atau ajaran-ajaran yang tidak didapati dalam al-Qur’an
atau dalam al-Qur’an hanya terdapat pokok-pokoknya saja. Suatu contoh hadîts tentang zakat fitrah
sebagai berikut:
‘Bahwasanya Rasullullah SAW telah mewajibkan zakat fitrah kepada umat
Islam pada bulan Ramadhan satu sukat (sha’) kurma atau gandum untuk setiap
orang, baik merdeka atau hamba, laki-laki atau perempuan muslim’. (HR.
Muslim).
Ibnu al-Qayyim berkata, bahwa hadîts-
hadîts Rasulullah SAW yang berupa tambahan terhadap al-Qur’an, merupakan
kewajiban atau aturan yang harus ditaati, tidak boleh menolak atau
mengingkarinya, dan ini bukanlah sikap (Rasulullah SAW) mendahului
al-Qur’an tyermelainkan semata-mata karena perintah-Nya.
4) Bayan al-Nasakh
Ketiga bayan yang pertama yang telah diuraikan
di atas disepakati oleh para ulama, meskipun untuk bayan yang ketiga ada
sedikit perbedaan yang terutama menyangkut definisinya saja.
Untuk bayan jenis keempat ini, terjadi perbedaan
pendapat ada yang mengakui dan menerima fungsi hadîts sebagai nasikh
terhadap hukum al-Qur’an dan ada juga yang menolaknya.
Kata nasakh secara bahasa berarti membatalkan,
menghilangkan, memindahkan, dan mengubah. Para ulama mengartikan bayan al-nasakh
ini banyak yang melalui pendekatan bahasa, sehingga diantara mereka terjadi
perbedaan pendapat dalam menafsirkannya. Termasuk perbedaan pendapat antara
ulama mutaakhirîn dengan ulama mutaqaddimîn.
Menurut pendapat yang dipegang para ulama mutaqaddimîn,
bahwa terjadi nasakh ini karena adanya dalil syara’ yang mengubah suatu
ketentuan meskipun jelas, karena telah berakhir masa keberlakuannya serta tidak
bisa diamalkan lagi, dan syari’ (pembuat syari’at) menurunkan ayat tersebut
tidak diberlakukan untuk selama-lamanya (temporal). Intinya yang disebut bayan
al-nasakh ialah adanya dalil syara’ (yang dapat menghapuskan ketentuan yang telah ada,
karena datangnya kemudian.
Salah satu contoh yang biasa diajukan oleh
para ulama, ialah hadîts yang berbunyi:
لَا وَصِيَّةَ لِوَارِثِ
‘Tidak ada wasiat bagi ahli waris’
Hadîts ini menurut mereka
menasakh isi firman Allah SWT:
|=ÏGä. öNä3øn=tæ #sÎ) u|Øym ãNä.ytnr& ßNöqyJø9$# bÎ) x8ts? #·öyz èp§Ï¹uqø9$# Ç`÷yÏ9ºuqù=Ï9 t
ûüÎ/tø%F{$#ur Å$rã÷èyJø9$$Î/ ( $)ym n?tã tûüÉ)FßJø9$# (البقرة: ١٨٠)
‘Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan
(tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk
ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf, (ini adalah) kewajiban atas
orang-orang yang bertakwa’. (QS. Al-Baqarah [2]: 180).[23]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Hadîts menurut bahasa yaitu sesuatu yang
baru, menunjukkan sesuatu yang dekat atau waktu yang singkat. Hadîts
juga berarti berita yaitu sesuatu yang diberitakan, diperbincangkan, dan
dipindahkan dari seorang kepada orang lain.
2. Hadîts menurut istilah syara’ ialah hal-hal yang datang dari
Rasulullah SAW, baik itu ucapan, perbuatan, atau pengakuan (taqrir). Berikut ini
adalah penjelasan mengenai ucapan, perbuatan, dan perkataan.
3. Jumhur
ulama berpendapat bahwa hadîts berkedudukan sebagai sumber atau
dalil kedua setelah Al-Quran dan mempunyai kekuatan untuk ditaati serta
mengikat untuk semua umat Islam.
4. Fungsi
hadîts yang utama adalah untuk menjelaskan Al-Qur’an.
5. Bila
kita lihat dari fungsinya hubungan hadîts dengan Al-Qur’an sangatlah
berkaitan. Karena pada dasarnya hadîts berfungsi menjelaskan hukum-hukum
dalam Al-Qur’an dalam segala bentuknya sebagaimana disebutkan di atas. Allah
SWT menetapkan hukum dalam Al-Qur’an adalah untuk diamalkan, karena dalam
pengalaman itulah terletak tujuan yang digariskan.
B. Saran
Penulisan
makalah ini sangat jauh dari sempurna. Oleh karena itu penulis menyarankan
kepada pembaca kita sebagai umat Islam agar tetap berpegang
teguh pada dua sumber hukum yang telah Rasulullah SAW wasiatkan kepada kita
yakni al-Qur’an dan hadîts. Penulis juga mengharapkan kritik dan
saran yang membangun dari para pembaca agar lebih baik kedepannya.
DAFTAR PUSTAKA
Suparta, Munzier, Ilmu
Hadis, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2008
Ash Shiddieqy, T.M. Hasbi, Sejarah
dan Pengantar Ilmu Hadits, Jakarta: PT. Bulan Bintang, 2008
K.H. DRS. Ahmad Diryathi, M.A, Zikir
Berjamaah Sunnah atau Bid’ah, (on-line) (http://www.googlebook.com)
diakses pada 07 Maret 2015
Departemen Agama, Al-Qur’an dan
Terjemahannya, Jakarta: CV. Darus Sunnah, 2002
Andah Panji Wardhana, Pengertian Hadîts, Sunnah, Khabar. (on-line) (http://andahpanjiwardhana.blogspot.com). diakses tanggal 07 Marer 2015
[1] Prof. Dr. T.M. Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu
Hadist, Cet. 11 (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1993) h. 20
[5] K.H. DRS. Ahmad Diryathi, M.A, Zikir Berjamaah Sunnah atau Bid’ah, Cet.
2 (Jakarta: Republika, 2003) h. 8 (on-line) (http://www.googlebook.com) diakses
pada 07 Maret 2015
[10] Ibid, h.
5
[15] Andah Panji Wardhana, Pengertian Hadîts, Sunnah, Khabar. (on-line) (http://andahpanjiwardhana.blogspot.com). diakses tanggal 07 Marer 2015
No comments:
Post a Comment