Sumber Makalah - Makalah tentang HADÎTS SEBAGAI SUMBER AJARAN ISLAM - Sumberku Makalah

Sumberku Makalah

Sumberku Makalah merupakan blog milik Imron Nur Huda yang merupakan salah seorang alumni Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Palu tahun 2018 yang kini telah beralih status menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) Datokarama Palu. Dimana di dalamnya berisi tentang makalah-makalah yang notabenenya merupakan tugas kuliah dari sang pemilik blog beserta teman-temannya.

Post Top Ad

Responsive Ads Here

 





Sumber Makalah - Makalah tentang HADÎTS SEBAGAI SUMBER AJARAN ISLAM

Sumber Makalah - Makalah tentang HADÎTS SEBAGAI SUMBER AJARAN ISLAM

Share This


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Sumber hukum agama Islam terdiri dari 2 (dua) sumber yakni al-Qur’an dan al-hadîts. Orang Islam tidak akan mungkin, bisa memahami syariat Islam secara mendalam dan lengkap tanpa kembali kepada kedua sumber Islam tersebut. Seorang mujtahid dan seorang ulama pun tidak diperbolehkan hanya mencukupkan diri dengan mengambil salah satu keduanya. Dilihat dari sudut periwayatannya, jelas antara hadîts dan al-Qur’an terdapat perbedaan. Untuk al-Qur’an semua periwayatannya berlangsung secara mutawatir. Sedangkan periwayatan hadîts sebagian berlangsung secara mutawatir dan sebagian lagi berlangsung secara ahad. Sehingga mulai dari sinilah timbul berbagai pendapat dalam menilai kualitas hadîts. Sekaligus sumber perdebatan dalam kancah ilmiah, atau bahkan dalam kancah-kancah non-ilmiah. Istilah lain yang semakna dengan hadîts ialah sunnah, khabar dan âtsâr.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian hadîts, sunnah, khabar dan âtsâr?
2.      Bagaimana kedudukan hadîts?
3.      Apa fungsi hadîts terhadap al-Qur’an?

C.    Tujuan
Tujuan pembuatan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah ‘Ulūm al-hadîts, serta untuk memberikan sedikit pengetahuan kepada para pembaca tentang Hadîts sebagai Sumber Ajaran Islam.





BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Hadîts, Sunnah, Khabar, dan Atsâr
a.      Hadîts
Hadîts menurut bahasa al-jadîd yang artinya sesuatu yang baru, lawan dari al-jadîd ialah al-Qadim yang berarti lama. Hadîts juga memiliki arti qarib yang artinya yang dekat, berarti menunjukan kepada waktu yang dekat atau waktu yang singkat.[1] Seperti حَدِيثُ الْعَهْد فِي الإِسْلَمِ (orang yang baru masuk/memeluk agama Islam). Hadîts juga sering disebut dengan khabar yang berarti berita, yaitu sesuatu yang dipercayakan dan dipindahkan dari seseorang kepada orang lain, sama maknannya dengan hadîts. Hadîts dengan pengertian khabar dapat dilihat pada beberapa ayat al-Qur’an, seperti QS. Al-Thûr (52): 34, QS. Al-Kahfi (18): 6, dan QS. Al-Dhuhâ (93): 11.[2] Rasulullah SAW juga telah menggunakan lafad “hadîts” dengan arti “khabar yang dating dari beliau” atau sabdanya:
يُوْشِكُ أَحَدُكُمْ أَنْ يَقُوْلَ هَذَا كِتَبُ اللهِ. مَا كَانَ فِيْهِ مِنْ حَلَالٍ أَحْلَلْنَاهُ وَمَا كَانَ فِيْهِ مِنْ حَرَامٍ حَرَمْنَاهُ اِلَّا مَنْ بَلَغَهُ عَنِّى حَدِيْثٌ فَكَذَبَ بِهِ. فَقَدْ كَذَّبَ ثَلَا ثَةً اَللهُ وَرَسُوْلُهُ وَالَّذِىْ حَدَّثَ بِهِ
Hampir-hampir akan ada seseorang kamu yang akan berkata : Ini Kitabullah. Apa yang halal di dalamnya, kami halalkan. Apa yang haram di dalamnya kami haramkan. Ketahuilah, barang siapa sampai kepadanya sesuatu ‘hadits’ khibar daripadaku, lalu dia dustakan, berartilah dia dustakan tiga: dia mendustakan Allah – dia mendustakan RasulNya – dia mendustakan orang yang menyampaikan hadits itu’. (HR. Ahmad dan Ad Darimy) [3]
Sedangkan hadîts menurut istilah (terminologi), para ahli memberikan definisi (ta’rîf) yang berbeda-beda sesuai dengan latar belakang disiplin ilmunya. Seperti pengertian hadîts menurut ahli ushul akan berbeda dengan pengertian yang diberikan oleh ahli hadîts.
Menurut ahli hadîts, pengertian hadîts ialah:
اَقْوَالُ النَّبِى صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَاَفْعَالُهُ وَاَحْوَالُهُ
Segala perkataan Nabi, perbuatan, dan hal ihwalnya”.
Demikian kata Al Hafidh dalam Syarah Al Bukhary. Dan Al Hafidh dari Shakhawi. Yang dimaksud dengan “hal ihwal” ialah segala yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad Saw yang berkaitan dengan himmah, karakteristik, sejarah kelahiran, dan kebiasaan-kebiasaannya.[4]
Ulama hadîts memandang bahwa sosok pribadi Nabi Muhammad SAW adalah seorang pemimpin dan member petunjuk kepada umatnya, serta sebagai suri tauladan (uswatun hasanah) bagi mereka, di mana perkataan, perbuatan, penetapan, sifat-sifat beliau, dan prilakunya perlu dijadikan contoh dan panutan bagi umatnya.[5]
Sebagian ulama seperti Ath Thiby berpendapat, bahwa hadîts itu melengkapi sabda Nabi, perbuatan beliau dan taqrir beliau: melengkapi perkataan, perbuatan dan taqrir sahabat, sebagaimana melengkapi pula perkataan, perbuatan dan taqrir tabi’in. Dengan demikian, terbagilah hadîts menjadi Sembilan bagian. Pendapat ini diterangkan oleh Al Hafidh di dalam An Nakhbah. Maka sesuatu hadîts yang sampai kepada Nabi, dinamai marfu’, yang sampai kepada sahabat, dinamai mauqûf dan yang sampai kepada tabi’in saja dinamai maqthû’.[6]
Sementara para ulama ushûl memberikan pengertian hadîts adalah
أَقْوَالُهُ وَأَفْعَالُهُ وَتَقْرِيْرَاتُهُ الَّتِى تَثْبُتُ الْأَ حْكَامُ وَتُقَرِّرُهَا
Segala perkataan Nabi SAW, perbuatan, dan taqrirnya yang berkaitan dengan hukum syara’ dan ketetapannya’.[7]
Berdasarkan pengertian hadîts menurut ahli ushûl ini jelas bahwa hadîts adalah segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Muhammad SAW baik ucapan, perbuatan, maupun ketetapan yang berhubungan dengan hukum atau ketentuan-ketentuan Allah yang disyariatkan kepada manusia.
Ahli ushûl membedakan diri Muhammad sebagai rasul dan sebagai manusia biasa. Yang dikatakan hadîts adalah sesuatu yang berkaitan dengan misi dan ajaran Allah yang diemban oleh Muhammad SAW sebagai Rasulullah. Ini pun, menurut mereka harus berupa ucapan beliau dan perbuatan beliau serta ketetapan-ketetapannya. Sedangkan kebiasaan-kebiasaan, tata cara berpakaian, cara tidur dan sejenisnya merupakan kebiasaan manusia dan sifat kemanusiaan tidak dapat dikategorikan sebagai  hadîts.[8] Dengan demikian, pengertian hadîts menurut ahli ushûl lebih sempit dibanding dengan pengertian  hadîts menurut ahli hadîts.
b.      Sunnah
Untuk mengungkapkan apa yang bersumber dari Nabi Muhammad SAW telah berkembang dikalangan umat Islam dengan istilah sunnah (سُنَّةٌ)
Istilah sunnah itu terkadang masih dianggap belum definitif sehingga perlu dipertegas lagi menjadi sunnah Nabi atau sunnah Rasul. Ditinjau dari etimologis (kebahasaan), kata sunnah. Sebagaimana dikemukakan oleh pakar bahasa Arab, Imam Muhammad Abu Bakr ‘Abd al-Qadir al-Razi dalam kitab kamusnya, Mukhtar al-Shihhah, berarti perilaku (al-Sirah). Dr. Muhammad ‘Ajjaj al-Khathib, seorang pakar ‘Ulum al-hadîts, menambahkan, baik prilaku yang positif ataupun prilaku yang negatif.[9]
Ulama bahasa Arab dan ‘Ulum al-hadîts memahami makna sunnah seperti itu berdasarkan makna sunnah yang termaktub dalam sebuah hadîts shahih berikut ini:

عَنْ جَرِيْرِبْنِ عَبْدِاللهِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ، قَالَ رَسُوْلُاللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ مَنْ سَنَّ فِى الاِسْلَامِ سُنّةً حَسَنَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ لَهُ مِثْلُ اَجْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلَا يُنْقَصُ مِنْ اُجُوْرِهِمْ شَبْئٌ وَمَنْ سَنَّ فِى الْاِ سْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً فَعِمُلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ لَهُ مِثْلُ وِزْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلَا يُنْقَصُ مِنْ اَوْزَارِهِمْ شَيْئُ  (رواه مسلم(
 Dari Jarir bin ‘Abdullah r.a. ia berkata, Rasulullah SAW telah bersabda: Barang siapa yang berperilaku dalam Islam dengan perilaku yang baik, lalu perilakunya itu ditiru oleh orang yang sesudahnya, maka diberikan kepadanya pahala seperti pahala orang yang menirunya. Dan barang siapa yang berperilaku dalam Islam dengan perilaku yang buruk, lalu perilakunya itu ditiru oleh orang sesudahnya, maka diberikan kepadanya dosa seperti dosa orang yang menirunya, dengan tidak dikurangi sedikitpun dari dosa orang yang menirunya’. (HR. Imam Muslim).
Dari hadîts sahih di atas, nyatalah bahwa sunnah itu ditinjau dari segi etimologis (kebahasaan) berarti perilaku. Dan karena dalam hadîts itu terdapat kata-kata: “Sunnah Hasanah” dan “Sunnah Sayyi’ah”, berarti sunnah menurut etimologis adakalanya perilaku baik dan adakalanya perilaku buruk.[10]
Sedang sunnah menurut istilah, di kalangan ulama terdapat perbedaan pendapat. Hal ini disebabkan karena perbedaan latar belakang, persepsi, dan sudut pandang masing-masing terhadap diri Rasulullah SAW secara garis besarnya mereka terkelompok menjadi tiga golongan: ahli hadîts, ahli ushûl, dan ahli fiqh.
Pengertian sunnah menurut ahli hadîts ialah segala yang bersumber Nabi SAW baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, perangai, budi pekerti, perjalanan hidup, baik sebelum diangkat menjadi rasul maupun sesudahnya.[11] Jadi dengan definisi tersebut, para ahli hadîts menyamakan antara sunnah dengan hadîts. Mereka menafsirkan makna sunnah ini sebagai seluruh kebiasaan Nabi Muhammad SAW, baik yang melahirkan hukum syara’ maupun tidak.
Berbeda dengan ahli hadîts, ahli ushûl mengatakan, sunnah adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW yang berhubungan dengan hukum syara’, baik berupa perkataan, perbuatan, maupun taqrir beliau. [12] Pemahaman ahli ushûl ini membatasi pengertian sunnah hanya pada segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Muhammad SAW, hal ini didasarkan pada argumentasi rasional bahwa Rasulullah SAW, sebagai pembawa dan pengatur undang-undang yang menerangkan kepada manusia tentang undang-undang hidup. Seperti firman Allah SWT:
!$tBur ãNä39s?#uä ãAqߧ9$# çnräãsù $tBur öNä39pktX çm÷Ytã (#qßgtFR$$sù 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# ( ¨bÎ) ©!$# ߃Ïx© É>$s)Ïèø9$#   (الحشر:٧)
 ‘…apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Amat keras hukumannya’. (QS. Al-Hasyr [59]: 7). [13]
Sedangkan sunnah menurut ahli fiqh yakni segala ketetapan yang berasal dari Nabi Muhammad SAW selain yang difardukan dan diwajibkan dan termasuk hukum (taklifi) yang lima yaitu wajib, sunnat, mubah, makruh, dan haram.[14]
c.       Khabar
Khabar menurut etimologis ialah berita yang disampaikan dari seseorang. Jamaknya adalah akhbar, orang banyak menyampaikan khabar dinamai khabir. Khabar digunakan untuk segala sesuatu yang diterima dari yang selain Nabi Muhammad SAW. Mengingat hal inilah orang yang meriwayatkan hadits dinamai muhaddits, dan orang yang meriwayatkan sejarah dinamai akhbary. Oleh karenanya, menurut mereka, khabar berbeda dengan hadits.[15]


d.      Atsâr
Atsâr menurut etimologis, ialah bekasan sesuatu atau sisa dari sesuatu. Dan nukilan (yang dinukilkan), sesuatu do’a umpamanya yang dinukilkan dari Nabi dinamai do’a ma’tsur.[16]
Sedangkan âtsâr menurut istilah terjadi perbedaan pendapat di antara pendapat para ulama. Sedangkan menurut istilah yaitu segala sesuatu yang diriwayatkan dari sahabat, dan boleh juga disandarkan pada perkataan Nabi SAW. Jumhur ulama mengatakan bahwa âtsâr sama dengan khabar, yaitu sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW, sahabat dan tabi’in. Sedangkan menurut ulama Khurasan bahwa âtsâr untuk yang mauqûf dan khabar untuk yang marfû’.[17]
Dari keempat pengertian tentang hadîts, sunnah, khabar, dan âtsâr sebagaimana diuraikan di atas, dapat ditarik satu pengertian bahwa keempat istilah tersebut pada dasarnya memiliki kesamaan maksud, yaitu segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Muhammad SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, maupun taqrirnya.

B.     Kedudukan Hadîts dan Fungsi Hadîts
a.      Kedudukan Hadîts
Seluruh umat Islam telah sepakat hadîts Rasul merupakan sumber dan dasar hukum Islam setelah al-Qur’an, dan umat islam diwajibkan mengikuti hadîts sebagaimana diwajibkan mengikuti al-Qur’an.
Banyak ayat al-Qur’an dan hadîts yang memberikan pengertian bahwa hadîts itu merupakan sumber hukum Islam selain al-Qur’an yang wajib diikuti, baik dalam bentuk perintah maupun larangannya. Uraian dibawah ini merupakan paparan tentang kedudukan hadîts sebagai sumber hukum Islam dengan melihat beberapa dalil, baik naqli maupun aqli. Diantara ayat-ayat yang dimaksud adalah firman Allah SWT:
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãYÏB#uä «!$$Î/ ¾Ï&Î!qßuur É=»tFÅ3ø9$#ur Ï%©!$# tA¨tR 4n?tã ¾Ï&Î!qßu É=»tFÅ6ø9$#ur
üÏ%©!$# tAtRr& `ÏB ã@ö6s% 4 `tBur öàÿõ3tƒ «!$$Î/ ¾ÏmÏFs3Í´¯»n=tBur ¾ÏmÎ7çFä.ur ¾Ï&Î#ßâur ÏQöquø9$#ur ̍ÅzFy$# ôs)sù
 ¨@|Ê Kx»n=|Ê #´Ïèt/   (النساء:١٣٦)
 Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari Kemudian, Maka Sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya’. (QS. Al-Nisâ [4]: 136) [18]
Dalam ayat lain Allah SWT berfirman:
ö@è% (#qãèÏÛr& ©!$# š^qߧ9$#ur ( bÎ*sù (#öq©9uqs? ¨bÎ*sù ©!$# Ÿw =Ïtä tûï͍Ïÿ»s3ø9$#  (ال عمران:٣٢)
 Katakanlah: "Ta'atilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, Maka Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir".’ (QS. Ali ‘Imrân [3]: 32) [19]
Dalam salah satu pesan Rasulullah SAW berkenaan dengan keharusan menjadikan hadîts sebagai pedoman hidup, disamping al-Qur’an sebagai pedoman utamanya, beliau bersabda:

تَرَكْتُ فِيْكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا كِتَابُ اللهِ وَسُنَّةَ نبِيّهِ (رواه مالك(
 Aku tinggalkan dua pusaka untukmu sekalian, yang kalian tidak akan tersesat selagi kamu berpegang teguh pada keduanya, yaitu berupa kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya’. (HR. Malik) [20].

...فعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّا شِدِينَ الْمَهْدِيِّيْنَ تَمَسَّكُوْا بِهَا وَعَضُّوْا عَلَيْهَا... (رواه ابوداود وابن ماجه(
 Wajib bagi sekalian berpegang teguh dengan sunnahku dan Sunnah Khulafa ar-Rasyidin (khalifah yang mendapat petunjuk) berpegang teguhlah kamu sekalian dengannya’. (HR. Abu Daud dan Ibn Mâjah) [21].  
b.      Fungsi Hadîts
Al-Qur’an dan hadîts sebagai pedoman hidup, sumber hukum ajaran dalam Islam, antara satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan. Keduanya merupakan satu kesatuan. Al-Qur’an sebagai sumber pertama dan utama banyak memuat ajaran-ajaran yang bersifat umum dan global. Oleh karena itu kehadiran hadîts, sebagai sumber ajaran kedua tampil untuk menjelaskan (bayân) keumuman isi al-Qur’an. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT:
!$uZø9tRr&ur y7øs9Î) tò2Ïe%!$# tûÎiüt7çFÏ9 Ĩ$¨Z=Ï9 $tB tAÌhçR öNÍköŽs9Î) öNßg¯=yès9ur šcr㍩3xÿtGtƒ   (النحل:٤٤)
 Dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka berpikir’. (QS. An-Nahl [16]: 44). [22]
Drs. Munzier Suparta, M.A dalam bukunya Ilmu Hadîts menyebutkan empat fungsi hadîts yakni:
1)      Bayan at-Taqrîr
Bayan at-taqrîr disebut juga dengan bayan al-ta’kîd dan bayan al-itsbât. Yang dimaksud bayan ini, ialah menetapkan dan memperkuat apa yang telah diterangkan di dalam al-Qur’an. Fungsi hadîts dalam hal ini hanya memperkokoh isi kandungan al-Qur’an. Suatu contoh hadîts yang diriwayatkan Muslim dari Ibnu Umar yang artinya:
Apabila kalian melihat (ru’yah) bulan, maka berpuasalah, juga apabila melihat (ru’yah) maka berbukalah’. (HR. Muslim).
Hadîts ini mentaqrîr ayat al-Qur’an dibawah ini:
`yJsù yÍky­ ãNä3YÏB tök¤9$# çmôJÝÁuŠù=sù  (البقرة: ١٨٥)
 Maka barangsiapa yang mempersaksikan pada waktu itu bulan, hendaklah ia berpuasa…’ (QS. Al-Baqarah [2]: 185
2)      Bayan al-Tafsîr
Yang dimaksud dengan bayan al-tafsîr adalah bahwa hadîts berfungsi untuk memberikan rincian dan tafsiran terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang masih bersifat global (mujmal), diantara contoh tentang ayat-ayat al-Qur’an yang masih mujmal adalah perintah mengerjakan shalat, puasa, zakat, disyariatkannya jual beli, nikah, qishas, hudud dan sebagainya. Sebagai contoh hadîts yang berfungsi sebagai bayan at-tafsîr:
صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي (رواه البخارى(
 Shalatlah sebagaimana engkau melihat aku shalat’. (HR. Bukhari)
Hadîts ini menjelaskan bagaimana mendirikan shalat. Sebab dalam al-Qur’an tidak menjelaskan secara rinci. Salah satu ayatnya:
(#qßJŠÏ%r&ur no4qn=¢Á9$# (#qè?#uäur no4qx.¨9$# (#qãèx.ö$#ur yìtB tûüÏèÏ.º§9$# (البقرة: ٤٣)
 Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang ruku'. (QS. Al-Baqarah [2]: 43).
3)      Bayan at-Tasyrî’
Yang dimaksud dengan bayan at-tasyrî’ adalah mewujudkan suatu hukum atau ajaran-ajaran yang tidak didapati dalam al-Qur’an atau dalam al-Qur’an hanya terdapat pokok-pokoknya saja. Suatu contoh hadîts tentang zakat fitrah sebagai berikut:
Bahwasanya Rasullullah SAW telah mewajibkan zakat fitrah kepada umat Islam pada bulan Ramadhan satu sukat (sha’) kurma atau gandum untuk setiap orang, baik merdeka atau hamba, laki-laki atau perempuan muslim’. (HR. Muslim).
Ibnu al-Qayyim berkata, bahwa hadîts- hadîts Rasulullah SAW yang berupa tambahan terhadap al-Qur’an, merupakan kewajiban atau aturan yang harus ditaati, tidak boleh menolak atau mengingkarinya, dan ini bukanlah sikap (Rasulullah SAW) mendahului al-Qur’an tyermelainkan semata-mata karena perintah-Nya.
4)      Bayan al-Nasakh
Ketiga bayan yang pertama yang telah diuraikan di atas disepakati oleh para ulama, meskipun untuk bayan yang ketiga ada sedikit perbedaan yang terutama menyangkut definisinya saja.
Untuk bayan jenis keempat ini, terjadi perbedaan pendapat ada yang mengakui dan menerima fungsi hadîts sebagai nasikh terhadap hukum al-Qur’an dan ada juga yang menolaknya.
Kata nasakh secara bahasa berarti membatalkan, menghilangkan, memindahkan, dan mengubah. Para ulama mengartikan bayan al-nasakh ini banyak yang melalui pendekatan bahasa, sehingga diantara mereka terjadi perbedaan pendapat dalam menafsirkannya. Termasuk perbedaan pendapat antara ulama mutaakhirîn dengan ulama mutaqaddimîn.
Menurut pendapat yang dipegang para ulama mutaqaddimîn, bahwa terjadi nasakh ini karena adanya dalil syara’ yang mengubah suatu ketentuan meskipun jelas, karena telah berakhir masa keberlakuannya serta tidak bisa diamalkan lagi, dan syari’ (pembuat syari’at) menurunkan ayat tersebut tidak diberlakukan untuk selama-lamanya (temporal). Intinya yang disebut bayan al-nasakh ialah adanya dalil syara’ (yang dapat menghapuskan ketentuan yang telah ada, karena datangnya kemudian.
Salah satu contoh yang biasa diajukan oleh para ulama, ialah hadîts yang berbunyi:
 لَا وَصِيَّةَ لِوَارِثِ
Tidak ada wasiat bagi ahli waris’
Hadîts ini menurut mereka menasakh isi firman Allah SWT:
|=ÏGä. öNä3øn=tæ #sŒÎ) uŽ|Øym ãNä.ytnr& ßNöqyJø9$# bÎ) x8ts? #·Žöyz èp§Ï¹uqø9$# Ç`÷ƒyÏ9ºuqù=Ï9 t
ûüÎ/tø%F{$#ur Å$rã÷èyJø9$$Î/ ( $ˆ)ym n?tã tûüÉ)­FßJø9$#   (البقرة: ١٨٠)
Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa. (QS. Al-Baqarah [2]: 180).[23]























BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
1.      Hadîts menurut bahasa yaitu sesuatu yang baru, menunjukkan sesuatu yang dekat atau waktu yang singkat. Hadîts juga berarti berita yaitu sesuatu yang diberitakan, diperbincangkan, dan dipindahkan dari seorang kepada orang lain.
2.      Hadîts menurut istilah syara’ ialah hal-hal yang datang dari Rasulullah SAW, baik itu ucapan, perbuatan, atau pengakuan (taqrir). Berikut ini adalah penjelasan mengenai ucapan, perbuatan, dan perkataan.
3.      Jumhur ulama berpendapat bahwa hadîts berkedudukan sebagai sumber atau dalil kedua setelah Al-Quran dan mempunyai kekuatan untuk ditaati serta mengikat untuk semua umat Islam.
4.      Fungsi hadîts yang utama adalah untuk menjelaskan Al-Qur’an.
5.      Bila kita lihat dari fungsinya hubungan hadîts dengan Al-Qur’an sangatlah berkaitan. Karena pada dasarnya hadîts berfungsi menjelaskan hukum-hukum dalam Al-Qur’an dalam segala bentuknya sebagaimana disebutkan di atas. Allah SWT menetapkan hukum dalam Al-Qur’an adalah untuk diamalkan, karena dalam pengalaman itulah terletak tujuan yang digariskan.

B.     Saran
Penulisan makalah ini sangat jauh dari sempurna. Oleh karena itu penulis menyarankan kepada pembaca kita sebagai umat Islam agar tetap berpegang teguh pada dua sumber hukum yang telah Rasulullah SAW wasiatkan kepada kita yakni al-Qur’an dan hadîts. Penulis juga mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca agar lebih baik kedepannya.



DAFTAR PUSTAKA

Suparta, Munzier, Ilmu Hadis, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2008
Ash Shiddieqy, T.M. Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Jakarta: PT. Bulan Bintang, 2008
K.H. DRS. Ahmad Diryathi, M.A, Zikir Berjamaah Sunnah atau Bid’ah, (on-line) (http://www.googlebook.com) diakses pada 07 Maret 2015
Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Jakarta: CV. Darus Sunnah, 2002
Andah Panji Wardhana, Pengertian Hadîts, Sunnah, Khabar. (on-line) (http://andahpanjiwardhana.blogspot.com). diakses tanggal 07 Marer 2015





[1] Prof. Dr. T.M. Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadist, Cet. 11 (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1993) h. 20
[2] Drs. Munzier Suparta, M.A, Ilmu Hadis, (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2001) h. 1
[3] Prof. Dr. T.M. Hasbi Ash Shiddieqy, op. cit, h. 22
[4] Drs. Munzier Suparta, M.A, op. cit, h. 2
[5] K.H. DRS. Ahmad Diryathi, M.A, Zikir Berjamaah Sunnah atau Bid’ah, Cet. 2 (Jakarta: Republika, 2003) h. 8 (on-line) (http://www.googlebook.com) diakses pada 07 Maret 2015
[6] Prof. Dr. T.M. Hasbi Ash Shiddieqy, op. cit, h. 23
[7] Drs. Munzier Suparta, M.A, op. cit, h. 3
[8] Ibid, h. 4
[9] K.H. DRS. Ahmad Diryathi, op. cit, h. 4
[10] Ibid, h. 5
[11] Drs. Munzier Suparta, M.A, op. cit, h. 7
[12] Ibid, h. 10
[13] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Jakarta: CV Darus Sunnah, 2002), h. 547
[14] Drs. Munzier Suparta, M.A, op. cit, h. 12
[15] Andah Panji Wardhana, Pengertian Hadîts, Sunnah, Khabar. (on-line) (http://andahpanjiwardhana.blogspot.com). diakses tanggal 07 Marer 2015
[16] Prof. Dr. T.M. Hasbi Ash Shiddieqy, op. cit, h. 33
[17] Drs. Munzier Suparta, M.A, op. cit, h. 15-16
[18] Departemen Agama RI, op. cit, h. 101
[19] Ibid, h. 5
[20] Drs. Munzier Suparta, M.A, op. cit, h. 53-54
[21] Ibid, h. 55
[22] Departemen Agama RI, op. cit, h. 273
[23] Drs. Munzier Suparta, M.A, op. cit, h. 58-66

No comments:

Post a Comment

Post Bottom Ad

Responsive Ads Here