Sumberku Makalah - PENDIDIKAN AGAMA, SARANA PRASARANA PENDIDIKAN, DAN LINGKUNGAN PENDIDIKAN - Sumberku Makalah

Sumberku Makalah

Sumberku Makalah merupakan blog milik Imron Nur Huda yang merupakan salah seorang alumni Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Palu tahun 2018 yang kini telah beralih status menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) Datokarama Palu. Dimana di dalamnya berisi tentang makalah-makalah yang notabenenya merupakan tugas kuliah dari sang pemilik blog beserta teman-temannya.

Post Top Ad

Responsive Ads Here

 





Sumberku Makalah - PENDIDIKAN AGAMA, SARANA PRASARANA PENDIDIKAN, DAN LINGKUNGAN PENDIDIKAN

Sumberku Makalah - PENDIDIKAN AGAMA, SARANA PRASARANA PENDIDIKAN, DAN LINGKUNGAN PENDIDIKAN

Share This


KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam, dalam waktu yang relatif singkat, makalah yang berjudul “Pendidikan Agama, Sarana Prasarana, dan Lingkungan Pendidikan” terselesaikan dengan baik.

Adanya makalah ini tentu saja melibatkan bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu, kami ucapkan terima kasih kepada:
1.      Orang tua yang telah mendoakan, membimbing, dan memberikan motivasi agar kami senantiasa rajin dalam menuntut ilmu.
2.      Sjakir Lobud, S.Ag.,M.Th.I. sebagai dosen mata kuliah Kapita Selekta Pendidikan yang telah memberikan tugas dan memberikan arahan.
3.      Sahabat-sahabat yang telah membantu menyelesaikan tugas ini.

            Penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun dari pembaca senantiasa diharapkan. Semoga makalah ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca pada umumnya. Mohon maaf  jika terjadi salah penulisan pada makalah ini.

Palu, 04 April 2017
Penyusun,


Kelompok X




DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I PENDAHULUAN 1
A.    Latar Belakang 1
B.     Rumusan Masalah  2
C.     Tujuan 2
BAB II PEMBAHASAN 3
A.    Pendidikan Agama dan Pembangunan 3
B.     Pelaksanaan Pendidikan Agama di Sekolah 6
C.     Sarana Prasarana Lembaga Pendidikan 8
D.    Orientasi Pelaksanaan Pendidikan Agama 8
E.     Problematika Pendidikan Agama di Sekolah Umum 11
F.      Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pendidikan Agama di Sekolah 13
BAB III PENUTUP 17
Kesimpulan 17
DAFTAR PUSTAKA 19


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Pendidikan merupakan sebuah yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan umat manusia. Karenanya manusia harus senantiasa mencari dan menuntut ilmu pengetahuan. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan salah satu faktor penting yang mengharuskan manusia untuk selalu mengembangkan keilmuannya agar dapat beradaptasi di dunia modern yang kaya akan kemajuan ilmu dan teknologi.
Seiring dengan kemajuan zaman dan perkembangan ilmu pengetahuan serta teknologi di dunia globalisasi, maka perlu juga peningkatan pendidikan agama agar kita sebagai masyarakat Indonesia yang notabenenya merupakan negara penganut asas “Ketuhanan yang Maha Esa” dalam sila pertama senantiasa berada pada jalan yang di Ridhoi Tuhan yang Maha Esa. Sehingga keberadaan kita sebagai makhluk ciptaan-Nya mampu mengaplikasikan apa yang diperintahkan dan dilarang-Nya.
Sekolah sebagai lembaga pendidikan formal tentunya harus berperan penting dalam hal peningkatan pendidikan agama. Jika pendidikan agama di suatu sekolah kurang maksimal dalam memberikan pengaruh kepada peserta didik tentunya penyimpangan-penyimpangan yang merupakan perilaku dari ‘Sampah Masyarakat’ akan memberikan dampak buruk bagi bangsa Indonesia. Hal ini tentunya harus didukung dari beberapa aspek. Salah satunya sarana-prasarana.
Tentunya peningkatan pendidikan agama di sekolah  tersebut, juga harus didukung oleh sarana prasarana yang memadai sebagai penunjang dalam prakteknya.  Sehingga itu akan membuat terciptanya lingkungan pendidikan yang kondusif dalam sekolah tersebut.
Dalam makalah ini, penulis akan mengulas secara mendalam mengenai pendidikan agama, sarana prasarana, dan lingkungan pendidikan.


B.     Rumusan Masalah
1.      Apa peranan pendidikan agama dalam pembangunan?
2.      Bagaimana pelaksanaan pendidikan agama di sekolah?
3.      Bagaimana sarana prasarana lembaga pendidikan?
4.      Apa saja orientasi pelaksanaan pendidikan agama?
5.      Apa yang menjadi problem dalam pendidikan agama di sekolah umum?
6.      Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi sekolah?

C.    Tujuan
1.      Untuk mengetahui peranan pendidikan agama dalam pembangunan.
2.      Untuk mengetahui pelaksanaan pendidikan agama di sekolah.
3.      Untuk mengetahui sarana prasarana lembaga pendidikan,
4.      Untuk mengetahui orientasi pelaksanaan pendidikan agama.
5.      Untuk mengetahui problem dalam pendidikan agama di sekolah.
6.      Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi sekolah.
















BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pendidikan Agama dan Pembangunan
Salah satu masalah yang penting dalam pembangunan ini adalah kesadaran kita untuk memilih sesuatu perbuatan yang berguna untuk pembangunan nasional dalam mengisi kemerdekaan bangsa dan negara. Agar dalam pelaksanaan pembangunan itu pelaksanaannya tidak bertentangan dengan norma-norma yang ada, maka kita harus meletakkan landasan pertama pada masalah moral.
Pendidikan Nasional sebagaimana ditegaskan dalam undang-undang No. 20 tahun 2003 pasal 3 menekankan, bahwa Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Tujuannya adalah agar berkembang potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Ini berarti, bahwa kemampuan-kemampuan yang dikembangkan melalui pendidikan bukan hanya kemampuan yang terkait kecerdasan intelektual (kognitif) semata-mata tetapi juga kecerdasan emosional dan spiritual; selain karakteristik lain seperti kreatif, bertanggung jawab, berakhlak mulia, dan lainnya mencerminkan sebagai pribadi yang utuh.
Pertanyaan yang muncul adalah bagaimanakah peran pendidikan agama selama ini dalam membentuk kesadaran dan nilai moral manusia pembangunan? Pertanyaan ini timbul atas dasar asumsi, bahwa pendidikan ternyata belum mampu mentranformasikan nilai-nilai agama dan kepribadian manusia pembangunan yang berbudi pekerti dan berakhlak mulia. Keberhasilan pendidikan agama yang belum memuaskan selama ini sangat erat kaitannya dengan sejumlah persoalan yang terjadi dalam penyelenggaraan pendidikan agama itu sendiri. Beberapa permasalahan yang muncul adalah kesalahan proses pembelajaran, bukan kesalahan dari segi isi[1].
Upaya peningkatan mutu pendidikan agama dan pendidikan keagamaan telah dilakukan melalui penyediaan tenaga pendidikan dan tenaga kependidikan serta pelatihan bagi pendidik bidang agama dan keagamaan dengan memberi tambahan muatan materi wawasan multikulturalisme. Peningkatan mutu pendidik bidang agama merupakan agenda penting dalam peningkatan pendidikan untuk membangun manusia seutuhnya. Namun demikian, pendidikan agama dan pendidikan keagamaan belum sepenuhnya berjalan efektif, antara lain disebabkan oleh[2]:
1.      Kurikulum pendidikan agama lebih menekankan aspek kognitif dan kurang memperhatikan aspek pengamalan ajaran agama dalamm pembentukan akhlak dan karakter;
2.      Jumlah pendidik dan tenaga kependidikan lainnya yang bermutu belum mencukupi;
3.      Sarana dan prasarana yang terbaatas;
4.      Fasilitas pendukung lainnya yang belum memadai.
Selain itu, arus globalisasi terutama melalui media cetak dan elektronik sangat deras masuk ke dalam lingkungan keluarga dan masyarakat sehingga mempengaruhi peserta didik dan perilaku sosial yang tidak sejalan dengan ajaran-ajaran agama.
Thomas Lickona, seorang guru besar pendidikan dari Cortland University, mengungkapkan bahwa ada sepuluh tanda-tanda jaman yang harus diwaspadai. Karena jika tanda-tanda ini sudah ada maka itu berarti sebuah bangsa sedang menuju jurang kehancuran. Tanda-tanda yang dimaskud adalah[3]:
1.      Meningkatnya kekerasan di kalangan remaja;
2.      Penggunaan bahasa dan kata-kata yang memburuk;
3.      Pengaruh kelompok sebaya yang kuat dalam tindak kekerasan;
4.      Meningkatnya perilaku merusak diri, seperti penggunaan narkoba, alcohol, dan seks bebas;
5.      Semakin kaburnya pedoman moral baik dan buruk;
6.      Menurunnya etos kerja;
7.      Semakin rendahnya rasa hormat kepada orang tua dan guru;
8.      Rendahnya rasa tanggung jawab individu dan warga negara;
9.      Membudayanya ketidakjujuran;
10.  Adanya rasa saling curiga dan kebencian di antara semua.
Sedangkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah,Al-Bazzar dan Baihaqi dan di riwayatkan oleh hakim, shahih menurut syarat muslim, ada 5 tanda hancurnya suatu bangsa atau negara yakni[4]:
1.      Tidaklah timbul suatu perbuatan jahat pada suatu kaum sehingga mereka menyebarluaskan melainkan akan merajalela wabah thoun dan penyakit-penyakit yang belum pernah menimpa orang-orang sebelum mereka.
2.      Tidaklah mereka berlaku curang dalam menakar dan menimbang melainkan mereka akan ditimpa bahaya kekeringan, kelaparan dan kezaliman penguasa.
3.      Tidaklah mereka enggan mengeluarkan zakat harta mereka melainkan akan di tahan hujan dari langit atas mereka dan andai kata karena kasihan pada binatang-binatang niscaya tidak akan diturunkan hujan sama sekali.
4.      Tidaklah mereka merusakkan janji Allah dan janji RasulNya melainkan Allah jadikan musuh mereka berkuasa atas mereka, lantas penguasa-penguasa itu merampas sebagian apa-apa yang ada di tangan  mereka.
5.      Apabila pemimpin-peminpin mereka tidak lagi menghukum dengan kitabullah dan tidak pula memilih mengutamakan apa-apa yang di turunkan Allah melainkan Allah jadikan pertentangan di antara mereka.
Oleh karena itu, pendidikan agama seharusnya diterapkan dalam praktik pendidikan di sekolah sebagai upaya dalam kerangka pembentukan karakter dan kesadaran akan nilai dan moral manusia pembangunan. Ini di antaranya dapat dilakukan dengan menerapkan konsep keberagaman (religious commitment) yang memiliki lima dimensi yaitu:
Pertama, pendidikan agama dapat dilakukan dengan pendekatan dimensi intelektual (religious knowledge). Dalam hal ini pendidikan agama lebih menekankan pada persoalan yang menyangkut tingkat pengetahuan dan pemahaman seseorang mengenai ajaran-ajaran agamanya. Kedua, pendidikan agama dilakukan melalui dimensi ritualistik (religious practice), yaitu pendidikan yang menekankan pada persoalan yang menyangkut tingkat kepatuhan seseorang dalam menjalankan ritus-ritus agamanya. Ketiga, pendidikan agama melalui dimensi ideologis (religious belief), yaitu pendidikan yang mengarahkan peserta didik menyangkut tingkat keyakinan seseorang mengenai kebenaran agamanya, terutama terhadap ajaran-ajaran yang fundamental atau dogmatik.
Keempat, pendidikan agama dilakukan dalam dimensi eksperiensial (religious feeling), yaitu pendidikan yang menekankan pada persoalan yang menyangkut tingkat intensitas perasaan-perasaan dan pengalaman-pengalaman religious seseorang. Kelima, pendidikan agama dilakukan melalui pendekatan dimensi konsekuensial (religious effect). Pendidikan diarahkan pada persoalan yang menyangkut seberapa kuat ajaran-ajaran dan nilai-nilai agama seseorang memotivasi dan menjadi sumber inspirasi atau perilaku-peilaku yang sesuai dengan nilai agama. Dengan pendekatan pendidikan agama seperti itu, diharapkan pendidikan agama di sekolah benar-benar fungsional dan kontekstual dengan masalah kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara[5].

B.     Pelaksanaan Pendidikan Agama di Sekolah
Pendidikan pada hakekatnya merupakan proses pendewasaan manusia menjadi manusia seutuhnya. Manusia seutuhnya meliputi keseluruhan dimensi kehidupan manusia: fisik, psikis, mental/moral, spiritual dan religius. Pendidikan dapat berlangsung secara formal di sekolah, informal di lembaga-lembaga pendidikan dan pelatihan dan nonformal dalam keluarga. Pendidikan agama di sekolah sebagai salah satu upaya pendewasaan manusia pada dimensi spiritual-religius. Adanya pelajaran agama di sekolah di satu pihak sebagai upaya pemenuhan hakekat manusia sebagai makhluk religius (homo religiousus). Sekaligus di lain pihak pemenuhan apa yang objektif dari para siswa akan kebutuhan pelayanan hidup keagamaan. Agama dan hidup beriman merupakan suatu yang objektif menjadi kebutuhan setiap manusia.
Pelaksanaan pelajaran agama di sekolah selama ini sudah berjalan. Sekolah-sekolah di Indonesia memberlakukan/memasukkan pelajaran agama dalam kurikulum. Pelajaran Pendidikan Agama merupakan salah satu pelajaran ‘wajib’, harus ada dan diterima oleh para siswa. Di Indonesia persekolahan-persekolahan swasta umum dengan ciri keagamaan tertentu menerapkan pelajaran agama sesuai dengan diri khas keagamaannya. Kenyataan di lapangan penerapan pelajaran agama di sekolah baik negeri dan swasta memuncukan dialektika atau bahkan menimbulkan problematika.
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS, pasal 12, ayat (1) huruf a, mengamanatkan: “Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama.” Bukan hanya di sekolah negeri, juga di sekolah swasta, bahwa setiap siswa berhak mendapatkan pelajaran agama sesuai dengan agamanya harus dipenuhi, maka pemerintah berkewajiban menyediakan / mengangkat tenaga pengajar agama untuk semua siswa sesuai dengan agamanya baik sekolah negeri maupun swasta. Pasal 55, ayat (5) menegaskan: “Lembaga pendidikan berbasis masyarakat dapat memperoleh bantuan teknis, subsidi dana dan sumber daya lian secara adil dan merata dari pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah”
Penyelenggaraan pelajaran agama di sekolah sesuai dengan ciri keagamaan merupakan hak sekaligus kewajiban sekolah yang diselengarakan oleh masyarakat. PP No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan, pasal 3 menegaskan: “Setiap satuan pendidikan pada semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan wajib menyelenggarakan pendidikan agama.” Hal mendapatkan pelajaran agama memang hak orang tua dan siswa Hak-hak sebagai warga Negara harus dijamin oleh pemerintah..

C.    Sarana Prasarana Lembaga Pendidikan
Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam prosesnya, kualitas pendidikan termasuk pendidikan agama harus didukung dengan sarana dan prasarana yang menjadi standar sekolah atau instansi pendidikan terkait. Sarana prasarana sangat mempengaruhi kemampuan siswa dalam belajar. Hal ini menunjukkan bahwa peranan sarana dan prasarana sangat penting dalam menunjang kualitas belajar siswa. Misalnya saja sekolah yang berada di kota yang sudah memiliki faslitas laboratorium komputer, maka anak didiknya secara langsung dapat belajar komputer sedangkan sekolah di desa yang tidak memiliki fasilitas itu tidak tahu bagaimana menggunakan komputer kecuali mereka mengambil kursus di luar sekolah.
Adapun hubungan sarana dan prasarana dengan proses pendidikan, dapat dikatakan bahwa sarana dan prasarana pendidikan dapat didefinisikan sebagai proses kerja sama pendayagunaan semua sarana dan prasarana pendidikan secara efektif dan efisien. Definisi ini menunjukkan bahwa sarana dan prasarana yang ada di sekolah perlu didayagunakan dan dikelola untuk kepentingan proses pembelajaran di sekolah. 
Pengelolaan itu dimaksudkan agar dalam menggunakan sarana dan prasarana di sekolah bisa berjalan dengan efektif dan efisien. Pengelolaan sarana dan prasarana merupakan kegiatan yang amat penting di sekolah, karena keberadaannya akan sangat mendukung terhadap suksesnya proses pembelajaran di sekolah. Dalam mengelola sarana dan prasarana di sekolah dibutuhkan suatu proses sebagaimana terdapat dalam manajemen yang ada pada umumnya, yaitu mulai dari perencanaan, penggunaan, pemeliharaan dan pengawasan.  Apa yang dibutuhkan oleh sekolah perlu direncanakan dengan cermat berkaitan dengan sarana dan prasarana yang mendukung semua proses pembelajaran.

D.    Orientasi Pelaksanaan Pendidikan Agama
Pendidikan agama pada hakikatnya adalah upaya transfer nilai-nilai agama, pengetahuan, dan budaya yang dilangsungkan secara berkesinambungan sehingga nilai-nilai itu dapat menjadi sumber motivasi dan aspirasi serta tolak ukur dalam perbuatan dan sikap maupun pola berpikir. Sementara tekad bangsa Indonesia yang selalu ingin kembali kepada Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen sangat kuat. Berdasarkan tekad itu pulalah maka kehidupan beragama dan pendidikan agama khususnya semakin mendapat tempat yang kuat dalam organisasi dan struktur pemerintahan.
Kelahiran pendidikan agama yang sekarang ini kita kenal menjadi mata pelajaran berakar dari pendidikan sekuler minus agama yang dikembangkan pemerintah penjajah. Usaha menghidupkan kembali eksistensi pembelajaran agama ini menemukan momentumnya setelah terbit UU No. 4 Tahun 1950 dan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dengan Menteri Agama tanggal 16 Juli 1951 yang menjamin adanya pendidikan agama di sekolah umum.
Pembangunan Nasional memang dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia dan masyarakat Indonesia seutuhnya. Hal ini berarti adanya keserasian, keseimbangan dan keselarasan antara pembangunan bidang jasmani dan rohani antar bidang material dan spritual, antara bekal keduniaan dan ingin berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, dengan sesama manusia dan dengan lingkungan hidupnya secara seimbang. Pembangunan seperti ini menjadi pangkal tolak pembangunan bidang agama. Di sisi lain, yang menjadi sasaran pembangunan jangka panjang di bidang agama adalah terbinanya iman bangsa Indonesia kepada Tuhan Yang Maha Esa, dalam kehidupan yang selaras, seimbang dan serasi antara lahiriah dan rohaniah.
Diketahui bahwa agama dan pendidikan adalah dua hal yang satu sama lain saling berhubungan. Melalui agama, manusia diarahkan menjadi manusia seutuhnya sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam. Proses pengembangannya adalah melalui pendidikan. Karena dengan pendidikan orang akan menjadi lebih dewasa dan lebih mampu baik dari segi kecerdasannya maupun sikap mentalnya. Hal ini senada dengan apa yang dikatakan oleh Dawam Raharjo, bahwa agama dimaksudkan untuk membentuk manusia Indonesia seutuhnya, dengan pertama-tama mengarahkan siswa menjadi “manusia Indonesia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa”.
Di samping itu juga, agama memberikan tuntunan yang jelas kepada manusia, mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang harus dikerjakan dan mana pula yang harus ditinggalkan, mana yang menguntungkan dan mana yang merugikan. Sementara pendidikan itu sendiri menurut Jalaluddin, pada hakikatnya merupakan proses dan aktivitas pengembangan system nilai yang difokuskan pada pengembangan akhlaq al-karimah pada diri individu[6].
Oleh karena itu, pengembangan potensi individu dalam segala aspeknya harus mengarah pada nilai-nilai akhlak mulia ini. Pelaksanaan pendidikan agama di sekolah memerlukan suasana interaksi antara guru dan siswa yang sifatnya lebih mendalam, lahir dan batin. Figur guru agama bukan sekadar “penyampai” materi pelajaran, tetapi lebih dari itu adalah sebagai “sumber spiritual” dan sekaligus sebagai “pembimbing.”
Sehingga terjalin hubungan pribadi yang mendekat antara guru dan siswa dan mampu melahirkan keterpaduan bimbingan ruhani dan akhlak dengan materi pengajarannya.
Karena itu, fungsi dan peran guru agama tidak cukup hanya bermodal “profesional” semata, tetapi perlu pula didukung oleh kekuatan “moral.” Begitu pula tentang mutu pendidikan agama dan pencapaian prestasi siswa tidak dapat begitu saja diukur lewat tabel-tabel statistik. Mutu dan keberhasilan pendidikan agama mestinya diukur dengan totalitas siswa sebagai pribadi dan sosial. Perilaku dan kesalehan yang ditampilkan dalam keseharian lebih penting dibandingkan dengan pencapaian nilai (angka) 9 atau A. Karena itu, menurut Malik Fadjar  mutu maupun pencapaian pendidikan agama perlu diorientasikan kepada hal-hal sebagai berikut:
1.      Tercapainya sasaran kualitas pribadi, baik sebagai manusia yang beragama maupun sebagai manusia Indonesia yang ciri-cirinya dijadikan tujuan pendidikan nasional.
2.      Integrasi pendidikan agama dengan keseluruhan proses maupun institusi pendidikan yang lain.
3.      Tercapainya internalisasi nilai-nilai dan norma-norma keagamaan yang fungsinya secara moral untuk mengembangkan keseluruhan system sosial dan budaya.
4.      Penyadaran pribadi akan tuntutan hari depannya dan transformasi sosial serta budaya yang terus berlangsung.
5.      Pengembangan wawasan ijtihadiyah (cerdas rasional) di samping penyerapan ajaran secara aktif.

E.     Problematika Pendidikan Agama di Sekolah Umum
Pokok permasalahan yang menjadi sumber utama problematika pendidikan agama di sekolah selama ini hanya dipandang melalui aspek kognitif atau nilai dalam bentuk angka saja, tidak dipandang bagaimana siswa didik mengamalkan dalam dunia nyata sehingga belajar agama sebatas menghafal dan mencatat.
Selama ini belum diselenggarakan pembelajaran pendidikan agama yang komprehensif pada sekolah umum, mulai tingkat SD, SMP, dan SMA. Akibatnya, hasil pendidikan agama pada sekolah yang sangat bervariasi dalam hal kualitasnya. Pembelajaran yang dikembangkan selama ini menempatkan guru sebagai sumber belajar sehingga target pembelajaran adalah ilmu pengetahuan sebagai pemberian guru kepada siswa (transfer of knowledge) yang berbentuk penguasaan bahan yang ditunjukkan oleh nilai dalam bentuk angka hasil ulangan atau ujian.  Dominasi guru ini dapat menghambat kreativitas, kemandirian serta orisinalitas siswa. Di samping itu penyampaian pembelajaran lebih bersifat teks normatif. Pendidikan religiusitas atau keberagaman yang seharusnya terbentuk melalui pendidikan agama banyak terabaikan.
Materi pendidikan agama yang dissajikan di sekolah masih banyak terjadi pengulangan-pengulangan dengan tingkat sebelumnya. Di samping itu, materi pendidikan agama dipelajari secara tersendiri dan lepas keterkaitannya dengan bidang-bidang studi lain. Ini membuat pendidikan agama kurang diterima sebagai sesuatu yang hidupdan responsif dengan kebutuhan siswa dan tantangan perubahan.
Metodologi pembelajaran agama di sekolah hanya disampaikan oleh guru secara indoktrinatif dengan fokus utama pada pengembangan kemampuan kognitif, yang hanya menekankan pada pengetahuan dan peraturan agama. Metode yang digunakan juga kurang menekankan pada pengembangan moralitas dan keberagaman seperti bagaimana menjadi manusia yang baik, penuh kasih saying, menghormati sesama, peduli pada lingkungan, membenci kemunafikan dan kebohongan dan sebagainya malah luput dari perhatian.
Ini berarti bahwa pelaksanaan pendidikan agama di sekolah menghadapi sejumlah permasalahan yang mendesak untuk dipecahkan. Jika tidak, dikhawatirkan misi utama yang diemban oleh pendidikan agama di sekolah kurang mencapai sasaran. Pendidikan agama seharusnya diarahkan pada usaha bimbingan rohani berdasarkan hukum-hukum dan norma-norma agama, sehingga terbentuk kesalehan individual dan kesalehan sosial sebagai cerminan dari manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Pendidikan sebagai upaya pembentukan karakter dan kesadaran nilai manusia pembangunan harus dilakukan melalui proses pendidikan dan pembelajaran nilai pada peserta didik yang melibatkan semua cara, kondisi, dan peristiwa pendidikan. Jika hanya mengandalkan penyadaran nilai melalui kegiatan intrakurikuler, ini tidak dapat menjamin terbentuknya kepribadian yang baik sesuai dengan harapan.  
Menurut Al Nahwawi, metode pengajaran yang sesuai dengan Al Qur’an dan Al Hadist meliputi:
1.      Metode Hiwar Qur’ani dan Nabawi: dialog yang mengarah pada tujuan pendidikan.
2.      Metode kisah Qur’ani dan Nabawi: kisah menarik dan diambil keteladanannya untuk dijadikan panutan.
3.      Metode Amtsal: membaca teks untuk mempermudah siswa dalam memahami suatu konsep.
4.      Metode Teladan: menggunakan keteladanan dalam memnanamkan penghayatan dan pengamalan materi tersebut.
5.      Metode Pembiasaan: pengulangan yang dilakukan secara terus-menerus sehingga menjadi suatu kebiasaan.
6.      Metode Ibrah dan Mauziah: menelaah ibrah dari kisah dengan nasihat yang lembut dan menyentuh.
7.      Metode Targhib dan Tahrib: didasarkan kepada ganjaran dan hukuman.

F.     Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pendidikan Agama di Sekolah
Gambaran umum tentang mutu pendidikan agama Islam di sekolah belum memenuhi harapan-harapan dalam peningkatan kualitas pendidikan agama Islam di sekolah yang menjadi agama sebagai benteng moral bangsa. Kondisi ini dipengaruhi sekurang-kurangnya oleh tiga faktor, yaitu:
1.      Sumber Daya Manusia Berupa Guru
Pendidikan mutu guru sebagai pendidik dan tenaga kependikan dilaksanakan dengan mengacu pada standar pendidik dan tenaga kependidikan mata pelajaran dalam Standar Nasional Pendidikan (SNP). Ada dua jalur/cara dalam rangka peningkatan kualitas kemampuan guru, pertama adanya jalur resmi untuk mengikuti pendidikan S1, kedua yang rutin mengikuti kegiatan-kegiatan melalui Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP). Dari kedua jalur ini, diharapkan guru pendidikan agama Islam di sekolah tidak berjalan begitu saja dan kemampuannya juga tidak meningkat.
Sebagai orang Islam kita berpegang kepada suatu kaidah yang menyatakan bahwa kalau hari ini lebih jelek dari hari kemarin, maka celaka. Kalau hari ini sama dengan hari kemarin, maka rugi, dan kalau hari ini lebih bagus dari hari kemarin, maka beruntung. Maka harus ada upaya-upaya untuk terus menerus belajar minal mahdi ilallahdi. Dalam salah satu hadits dinyatakan bahwa jadilah kalian orang yang mengajar, atau jadilah orang-orang belajar atau kalau tidak kedua-duanya sekurang-kurangnya mendengarkan. Janganlah jadi yang keempat yaitu tidak mengajar, tidak belajar, dan tidak mendengar. Untuk itulah guru yang harus selalu meningkatkan kualitas dirinya.
2.      Pelaksanaan Pendidikan Agama Islam
Pelaksanaan proses pembelajaran pendidikan agama Islam berorientasi pada penerapan Standar Nasional Pendidikan. Untuk itu dilakukan kegiatan-kegiatan seperti pengembangan metode pmbelajaran pendidikan agama Islam, pengembangan kultur budaya Islami dalam proses pembelajaran, dan pengembangan kegiatan-kegiatan kerokhanian Islam dan ekstrakurikuler.
Pelaksanaan pendidikan agama Islam di sekolah masih menunjukkan keadaan yang memprihatinkan. Banyak faktor yang menyebabkan keprihatinan itu, antara lain pertama, dari segi jam pelajaran yang disediakan oleh sekolah secara formal, peserta didik dikalkulasikan waktunya hanya 2 jam pelajaran per minggu untuk mendidik agama. Coba bandingkan dengan mata pelajaran lainnya yang bisa mencapai 4 – 6 jam per minggu. Implikasinya bagi peserta didik adalah hasil belajar yang diperolehnya sangat terbatas. Sedangkan implikasi bagi guru itu sendiri adalah guru dituntut untuk melaksanakan kewajiban menyelenggarakan proses pembelajaran sebanyak 24 jam per minggu. Yang jadi persoalan adalah kalau seorang guru agama ditugasi mengajar di sekolah, misalnya di sekolah dasar (SD) ada 6 kelas kemudian di satu kelas guru mengajar 3 jam pelajaran, sehingga maksimal pembelajaran yang dilaksanakan guru adalah 18 jam pelajaran. Berarti guru tidak memenuhi kewajiban sesuai dengan tugas yang diberikan oleh pemerintah. Implikasinya adalah guru tersebut tidak berhak memperoleh tunjangan-tunjangan sebagai guru karena kewajiban mengajarnya belum memenuhi syarat yang sudah ditentukan oleh pemerintah. Tuntutan itu harus benar-benar diperhitungkan karena pemerintah memberikan dan menaikkan tunjangan-tunjangan bukan hanya gaji kepada guru yang melaksanakan tugas kewajibannya sesuai dengan jumlah jam pelajaran yang sudah ditentukan.
3.      Melakukan Evaluasi
Mengenai evaluasi pendidikan agama Islam ini terkadang terjadi hal-hal yang di luar dugaan. Misalnya ada peserta didik yang jarang sekolah, malas dan merasa terpaksa mengikuti pelajaran agama, tetapi ketika dievaluasi dia mendapatkan nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan peserta didik yang rajin belajar agama. Artinya yang salah itu adalah evaluasinya karena yang dilakukan hanyalah mengukur unsur kognitifnya saja. Oleh karena itu evaluasi pendidikan agama Islam jangan hanya mengandalkan evaluasi kemampuan kognitif saja, tetapi harus dievaluasi juga sikap, prakteknya atau keterampilan (psikomotor) dan sikapya (afektif).
Guru melakukan pengamatan terhadap perilaku sehari-hari peserta didik tersebut apakah peserta didik itu shalat? Kalau dilaksanakan apakah shalatnya benar sesuai tata caranya? Evaluasi ini sebetulnya menentukan status peserta didik tentang hasil belajarnya itu apakah sudah mencapai tujuan yang ingin dicapai atau tidak. Kalau tujuan agama itu adalah supaya peserta didik bisa menjalankan agama Islam dengan baik maka evaluasinya harus sesuai, dan evaluasinya itu bukan hanya hafal tentang kaidah-kaidah tentang kemampuan kognitif saja tetapi juga yang bersifat praktikal.
Namun, dalam pelaksanaan program pedidikan agama di berbagai sekolah di Indonesia, belum berjalan seperti yang di harapkan, karena berbagai kendala dalam bidang kemampuan pelaksanaan metode, sarana fisik dan nonfisik, di samping suasana lingkungan pendidikan yang kurang menunjang suksesnya pendidikan mental-spiritual dan moral.
1.      Faktor –Faktor Eksternal
a.       Timbulnya sikap orang tua di beberapa lingkungan sekitar sekolah yang kurang menyadari pentingnya pendidikan agama.
b.      Situasi lingkungan sekitar sekolah di pengaruhi godaan-godaan setan dalam berbagai macam bentuknya, seperti: judi, dan tontonan yang menyenangkan nafsu.
c.       Serbuan dampak dari kemajuan ilmu dan teknologi dari luar negeri semakim melunturkan perasaan religius dan melebarkan kesenjangan antara nilai tradisional dengan nilai rasional teknologis.


2.      Faktor-Faktor Internal Sekolah
Perangkat input instrumen yang kurang sesuai dengan tujuan pendidikan menjadi sumber kerawanan karena:
a.       Guru kurang kompeten untuk menjadi tenaga profesional pendidikan atau jabatan guru yang di sandangnya hanya merupakan pekerjaan alternatif terakhir, tampa ada rasa dedikasi sesuai tuntutan pendidikan.
b.      Hubungan guru agama dengan murid hanya bersifat formal, tampa berlanjut dalam situasi informal di luar kelas.
c.       Pendekatan metodologi guru masih terpaku pada orientasi tradisional sehingga tidak mampu menarik minat murid pada pelajaran agama.
d.      Belum mantapnya landasan perundangan yang menjadi dasar terpijaknya pengelolaan pendidikan agama dalam sistem pendidikan nasional, termasuk pengelolaan lembaga-lembaga pendidikan Islam.


















BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
1.      Pendidikan agama seharusnya diterapkan dalam praktik pendidikan di sekolah sebagai upaya dalam kerangka pembentukan karakter dan kesadaran akan nilai dan moral manusia pembangunan.
2.      Pelaksanaan pelajaran agama di sekolah selama ini sudah berjalan. Sekolah-sekolah di Indonesia memberlakukan/memasukkan pelajaran agama dalam kurikulum. Pelajaran Pendidikan Agama merupakan salah satu pelajaran ‘wajib’, harus ada dan diterima oleh para siswa. Di Indonesia persekolahan-persekolahan swasta umum dengan ciri keagamaan tertentu menerapkan pelajaran agama sesuai dengan diri khas keagamaannya. Kenyataan di lapangan penerapan pelajaran agama di sekolah baik negeri dan swasta memuncukan dialektika atau bahkan menimbulkan problematika.
3.      Adapun hubungan sarana dan prasarana dengan proses pendidikan, dapat dikatakan bahwa sarana dan prasarana pendidikan dapat didefinisikan sebagai proses kerja sama pendayagunaan semua sarana dan prasarana pendidikan secara efektif dan efisien. Definisi ini menunjukkan bahwa sarana dan prasaranayang ada di sekolah perlu didayagunakan dan dikelola untuk kepentingan proses pembelajaran di sekolah. 
4.      Pendidikan agama pada hakikatnya adalah upaya transfer nilai-nilai agama, pengetahuan, dan budaya yang dilangsungkan secara berkesinambungan sehingga nilai-nilai itu dapat menjadi sumber motivasi dan aspirasi serta tolak ukur dalam perbuatan dan sikap maupun pola berpikir. Sementara tekad bangsa Indonesia yang selalu ingin kembali kepada Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen sangat kuat. Berdasarkan tekad itu pulalah maka kehidupan beragama dan pendidikan agama khususnya semakin mendapat tempat yang kuat dalam organisasi dan struktur pemerintahan.
5.      Pokok permasalahan yang menjadi sumber utama problematika pendidikan agama di sekolah selama ini hanya dipandang melalui aspek kognitif atau nilai dalam bentuk angka saja, tidak dipandang bagaimana siswa didik mengamalkan dalam dunia nyata sehingga belajar agama sebatas menghafal dan mencatat.
6.      Gambaran umum tentang mutu pendidikan agama Islam di sekolah belum memenuhi harapan-harapan dalam peningkatan kualitas pendidikan agama Islam di sekolah yang menjadi agama sebagai benteng moral bangsa. Kondisi ini dipengaruhi sekurang-kurangnya oleh tiga faktor, yaitu: Sumber Daya Manusia Berupa Guru, Pelaksanaan Pendidikan Agama Islam, dan Melakukan Evaluasi.






















DAFTAR PUSTAKA

Ali, Mohammad, Pendidikan untuk Pembangunan Nasional: Menuju Bangsa Indonesia yang Mandiri dan Berdaya Saing Tinggi, t.t: IMTIMA
Blogspot.co.id, Tanda Hancurnya Suatu Negara, Blog Petualang Web, http://petualang-web.blogspot.co.id/2012/01/5-tanda-hancurnya-suatu-negara.html, (30 Maret 2017)
Horiz, Abd. Wahid, Pendidikan Agama di Sekolah Umum, Blog Abdul Wahid Horiz, https://abdwahidhoriz.wordpress.com/2012/07/14/pendidikan-agama-di-sekolah-umum, (30 Maret 2017)


[1] Mohammad Ali, Pendidikan untuk Pembangunan Nasional: Menuju Bangsa Indonesia yang Mandiri dan Berdaya Saing Tinggi, (t.t: IMTIMA) H. 145
[2] Ibid, h. 145
[3] Ibid, h. 147
[4] Blogspot.co.id, Tanda Hancurnya Suatu Negara, Blog Petualang Web, http://petualang-web.blogspot.co.id/2012/01/5-tanda-hancurnya-suatu-negara.html, (30 Maret 2017)
[5] Mohammad Ali, Op.,cit, h. 148
[6] Abd. Wahid Horiz, Pendidikan Agama di Sekolah Umum, Blog Abdul Wahid Horiz, https://abdwahidhoriz.wordpress.com/2012/07/14/pendidikan-agama-di-sekolah-umum, (30 Maret 2017)
 



No comments:

Post a Comment

Post Bottom Ad

Responsive Ads Here